On 00.23 by Unknown
Dalam
kenyataannya, kebanyakan manusia di dunia ini bertuhan lebih dari satu.
Al-Qur'an menamakan mereka ini musyrik, yaitu orang yang syirik. Kata syirik
ini berasal dari kata "syaraka" yang berarti "mencampurkan dua
atau lebih benda/hal yang tidak sama menjadi seolah-olah sama", misalnya
mencampurkan beras kelas dua ke dalam beras kelas satu. Campuran itu dinamakan
beras isyrak. Orang yang mencampurkannya disebut musyrik.
Lawan
"syaraka" ialah "khalasha" artinya memurnikan. Beras kelas
satu yang masih murni, tidak bercampur sebutir pun dengan beras jenis lain
disebut beras yang "Khalish". Jadi orang yang ikhlash bertuhankan
hanya Allah ialah orang yang benar-benar bertawhid. Inilah konsep yang paling
sentral di dalam ajaran Islam.
Mentawhidkan
Allah ini tidaklah semudah percaya akan wujudnya Allah. Mentawhidkan Allah
dengan ikhlash menghendaki suatu perjuangan yang sangat berat.Mentawhidkan
Allah adalah suatu jihad yang terbesar di dalam hidup ini.
Kenyataannya,
orang-orang yang sudah mengaku Islam pun, bahkan mereka yang sudah rajin
bershalat, berpuasa dan ber'ibadah yang lain pun, di dalam kehidupan mereka
sehari-hari masih bersikap, bahkan bertingkah laku seolah-olah mereka masih
syirik (bertuhan lain di samping Tuhan Yang Sebenarnya). Mereka masih
mencampurkan (mensyirikkan) pengabdian mereka kepada Allah itu dengan
pengabdian kepada sesuatu "ilah" yang lain. Pengabdian sampingan itu
biasanya ialah di dalam bentuk "rasa ketergantungan" kepada ilah yang
lain itu. Oleh karena itu, al-Qur'an mengingatkan setiap Muslim, bahwa dosa
terbesar yang tak akan terampunkan oleh Allah ialah syirik ini (LihatQ.4:48 dan
116):
Artinya
kira-kira: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampunkan orang-orang yang
mensyirikkan-Nya, tapi Ia akan mengampuni kesalahan lain bagi siapa yang
diperkenankan-Nya. Barangsiapa yang mensyirikkan Allah, sesungguhnyalah ia
telah berdosa yang sangat besar."
RasuluLlah
pun pernah mengatakan, bahwa pokok pangkal setiap dosa ialah syirik ini, jadi
senada dengan peringatan yang disampaikan al-Qur'an. Dapat difahami, bahwa
setiap orang yang akan melakukan sesuatu dosa, apalagi buat pertama kali, akan
merasakan, bahwa hati nuraninya akan memberontak. Detak jantungnya akan
bertambah cepat, timbul rasa malu kalau-kalau perbuatannya itu akan dilihat
orang lain, terutama kenalannya, maka pada saat itu ia lebih takut (malu)
kepada orang (ilah lain) dari pada kepada Allah, Yang Maha Melihat dan Maha
Mengetahui. Maka pada saat itu ia sudah syirik sebelum melaksanakan keinginan
hawa nafsunya itu.
Peringatan
al-Qur'an dan ucapan Rasul itu disampaikan karena Allah sendiri tahu, bahwa
memang tidak mudah mencapai tingkat tawhid yang ikhlash itu. Sangat banyak
kendala dan halangan yang harus diatasi jika orang ingin mencapai tingkat
tawhid yang murni ini.
1.
Alihatun atau Tuhan-tuhan yang Populer
a. Harta atau Duit Sebagai Ilah
Tuhan
lain atau "tuhan tandingan", yang paling populer di zaman modern ini
ialah duit, karena ternyata memang duit ini termasuk "ilah" yang
paling berkuasa di dunia ini. Di kalangan orang Amerika terkenal istilah
"The Almighty Dollar" (Dollar yang maha kuasa). Memang telah ternyata
di dunia, bahwa hampir semua yang ada di dalam hidup ini dapat diperoleh dengan
duit, bahkan dalam banyak hal harga diri manusia pun bisa dibeli dengan duit.
Cobalah
lihat sekitar kita sekarang ini, hampir semuanya ada "harga''-nya, jadi
bisa "dibeli" dengan duit. Manusia tidak malu lagi melakukan apa saja
demi untuk mendapat duit, pada hal malu itu salah satu bahagian terpenting dari
iman. Betapa banyak orang yang sampai hati menggadaikan negeri dan bangsanya
sendiri demi mendapat duit. Memanglah "tuhan" yang berbentuk duit ini
sangat banyak menentukan jalan kehidupan manusia di zaman modern ini.
Pada
mulanya manusia menciptakan duit hanyalah sebagai alat tukar untuk memudahkan
serta mempercepat terjadinya perniagaan. Maka duit bisa ditukarkan dengan
barang-barang atau jasa dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu, duit juga
disebut sebagai "harta cair" (liquid commodity). Kemudian, fungsi
duit sebagai alat tukar ini menjadi demikian efektifnya, sehingga di zaman ini,
terutama di negeri-negeri yang berlandaskan materialisme dan kapitalisme, duit
juga dipakai sebagai alat ukur bagi status seseorang di dalam masyarakat.
Kekuasaan,
pengaruh, bahkan nilai pribadi seseorang diukur dengan jumlah kekayaan
(asset)-nya. Prestasi pribadi seseorang pun telah diukur dengan umur semuda
berapa ia menjadi jutawan. Semakin muda seseorang mendapat duit sejumlah sejuta
dollar dianggap semakin tinggi nilai pribadinya. Umpamanya, ketika penulis
sedang mengetik naskah edisi baru ini (di Ames, Iowa, USA, awal Ramadhan 1406/
May 1986), di dalam siaran TV diumumkan, bahwa Michael Jackson mendapat piagam
kehormatan tertinggi (Golden Award) sebagai "seniman" penyanyi
termuda (di bawah 30 tahun) yang terhebat, karena ia berhasil mendapat kontrak
sejumlah 15 juta dollar untuk menyanyikan lagu "Pepsi Cola" di dalam
siaran-siaran TV dan radio selama tiga tahun. Jadi ia berpenghasilan 5 juta
dollar setahun dalam masa tiga tahun mendatang ini; kira-kira 20 x gaji
presiden Amerika Serikat (Ronald Reagen) pada masa yang sama. Kehidupan dan
gaya hidup orang-orang yang banyak duit ini di USA sengaja ditonjolkan melalui
program yang periodik di TV (The Lifestyles of the Rich and Famous).
b. Takhta Sebagai Ilah
"Tuhan
tandingan" kedua yang paling populer ialah pangkat atau takhta, karena
pangkat ini erat sekali hubungannya dengan duit tadi, terutama di negeri-negeri
yang sedang berkembang. Pangkat atau takhta bisa dengan mudah dipakai sebagai
alat untuk mendapat duit atau harta, terutama di negeri-negeri di mana
kebanyakan rakyatnya masih berwatak "nrimo", karena belum terdidik
dan belum cerdas. Apalagi, kalau di negeri itu kadar kebebasan mengeluarkan
pendapat, baik secara lisan maupun tulisan, masih rendah.
Di
negeri-negeri yang rakyatnya sudah cerdas, dan kebebasan mengeluarkan pendapat
terjamin penuh oleh undang-undang, memang peranan pangkat dan kedudukan tidak
mudah, bahkan tidak mungkin dipakai untuk mendapatkan duit/harta. Oleh karena
itu, orang-orang yang ikut aktif di dalam perebutan kedudukan yang bersifat
politis di negeri- negeri yang sudah maju ini biasanya orang-orang yang sudah
kaya lebih dahulu. Mendiang presiden Kennedy, umpamanya, menolak pembayaran
gajinya sebagai presiden yang jumlahnya ketika itu 125 ribu dollar setahun,
karena ia sudah jutawan sebelum jadi presiden. Ia merebut kedudukan
kepresidenan dengan mengalahkan Nixon, ketika itu, karena dorongan rasa
patriotiknya, atau mungkin juga demi menjunjung tinggi nama dan kehormatan keluarganya,
namun bukan karena menginginkan kekayaan yang mungkin diperoleh dari
kepresidenan itu.
Jadi,
nyata benar bedanya dengan bekas presiden Marcos dan isterinya Imelda,
umpamanya, yang telah menjadi kaya raya akibat kedudukannya, karena itu mereka
telah bersikeras terus mempertahankan kedudukan itu, walaupun rakyat sudah
menyatakan ketidak-senangan mereka kepadanya. Hal ini bisa terjadi di negeri
Marcos, karena kecerdasan dan kebebasan rakyatnya masih jauh di bawah
kecerdasan dan kebebasan rakyat Amerika Serikat.
Contoh-contoh
seperti Marcos dan Imelda ini banyak sekali terjadi di negeri-negeri yang
sedang berkembang, seperti Tahiti dengan Duvalier-nya, Iran dengan mendiang
Syah-nya, dan lain-lain...!
Suatu
hal yang sangat menarik, karena berhubungan dengan masalah ini, ialah, bahwa
Al-Qur'an sudah mengajarkan kepada para Muslim yang benar-benar bertawhid
(beriman) agar mereka memilih pemimpin, selain Allah dan Rasul-Nya, hanyalah
"orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan membayarkan zakat
seraya tundak hanya kepada Allah." Ayat selengkapnya berbunyi:
"Sungguh, pemimpinmu (yang sejati) hanyalah
Allah dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan
MEMBAYARKAN ZAKAT, seraya tunduk (patuh kepada Allah)." (Q.5:55)
Bukankah
yang diwajibkan membayar zakat ini ialah orang yang kaya, atau paling tidak
orang yang sudah berkecukupan. Orang yang miskin, dan karena itu tidak mampu
membayarkan zakat, walaupun sudah ta'at melakukan sembahyang, belum memenuhi
syarat untuk dipilih sebagai pemimpin. Akan terlalu berat baginya mengatasi
keinginan melepaskan diri dari tekanan kemiskinan itu, sehingga mungkin ia akan
lebih mudah tergoda untuk memperkaya dirinya dahulu, sebelum atau sambil
menjalankan tugasnya sebagai pemimpin itu.
Sungguh,
sangat tinggi hikmah yang terkandung di dalam ayat ini, terutama mengenai
masalah memilih atau menentukan pemimpin. Sangat sayang, bahwa kebanyakan ummat
Islam pada saat ini belum sempat mencapai tingkat kecerdasan yang memadai untuk
memahami dan menghayati kandungan ayat suci ini. Oleh karena itu, ummat ini
belum juga berhasil memilih pemimpin mereka sesuai dengan kandungan ajaran
Allah ini. Akibatnya, ummat Islam belum mampu mencapai tingkat kemerdekaan
(tawhid) yang minimal menurut standard yang dikehendaki al-Qur'an. Benar juga
kiranya, jika ada yang mengatakan, bahwa "al-Qur'an masih terlalu tinggi
bagi kebanyakan ummat Islam pada masa ini". Dengan perkataan lain, ummat
Islam pada masa ini masih terlalu rendah mutunya, sehingga belum pantas untuk
menerima al-Qur'an yang mulia itu.
Oleh
karena itu, kita tak perlu heran jika nilai-nilai dasar dan pokok yang
diajarkan di dalam al-Qur'an masih lebih mudah terlihat dipraktekkan di
negeri-negeri, yang justru mayoritas penduduknya resmi belum beragama Islam.
c. Syahwat Sebagai Ilah
Tuhan
ketiga yang paling populer pada setiap zaman ialah syahwat (sex). Demi memenuhi
keinginan akan sex ini banyak orang yang tega melakukan apa saja yang dia rasa
perlu. Orang yang sudah terlanjur mempertuhankan sex tidak akan bisa lagi
melihat batas-batas kewajaran, sehingga ia akan melakukan apa saja demi
kepuasan sex-nya.
Contoh-contoh
dalam sejarah mengenai hal ini cukup banyak, sehingga Allah mewahyukan riwayat
yang sangat rinci tentang nabi Yusuf yang telah berjaya menaklukkan godaan sex
ini. Nabi Yusuf dipujikan dalam al-Qur'an sebagai seorang yang telah berhasil
menentukan pilihan yang tepat ketika dihadapkan dengan alternatif: pilih
hidayah iman atau kemerdekaan. Beliau memilih ni'mat Allah yang pertama, yaitu
hidayah iman. Dengan mengorbankan kemerdekaannya beliau memilih masuk penjara
daripada mengorbankan imannya dengan tunduk kepada godaan keinginan syahwat
isteri menteri, majikan beliau.
"Dia (Yusuf) berkata: "Hai Tuhanku!
Penjara itu lebih kusukai dari pada mengikuti keinginan (syahwat) mereka, dan
jika tidak Engkau jauhkan dari padaku tipu daya mereka, niscaya aku pun akan
tergoda oleh mereka, sehingga aku menjadi orang-orang yang jahil." (Q.
12:33).
Dari
ayat ini jelas betapa hebat tekanan sex pada seseorang yang sehat dan masih
remaja seperti Yusuf ketika digoda oleh isteri majikan beliau yang cantik
jelita, namun dengan tawhid yang mantap beliau tidak sampai terjatuh ke lembah
kehinaan.
Sajak
"Aku" nya Chairil Anwar yang sudah dikoreksi kiranya dapat dipakai
untuk melukiskan pribadi Yusuf AS ini sebagai berikut:
AKU
Bila sampai waktuku
'Kumau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga 'kau.
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini hamba Allah
Dari gumpalan darah
Merah
Biar peluru menembus kulitku
'Ku 'kan terus mengabdi
Mengabdi dan mengabdi
Hanya kepada-Mu
Ilahi Rabbi
|
|
2. Tuhan-tuhan Triple "Ta"
Ketiga
macam "tuhan-tuhan" tersebut di atas sebenarnya sangat dekat
hubungannya satu sama lain, karena yang satu akan lebih mudah didapat dengan
memperalat yang lainnya, sehingga tepat jika dikatakan "trinita
tuhan-tuhan" atau "Tuhan-tuhan tiga ta: harta, takhta, dan
wanita". Ketiga "ta" ini adalah tuhan-tandingan yang
selalu"disembah manusia dari zaman awal kejadiannya sehingga zaman
nanti.
Manusia
yang telah memperkembang potensi 'aqal dan rasanya secara seimbang, sehingga
mencapai tingkat minimal yang dikehendaki al-Qur'an akan mampu melihat dengan
mata dan hatinya, bahwa ketiga "tuhan" tersebut di atas selain
mempunyai sifat "kuasa" dan "menyenangkan" juga bersifat
mengikat atau membatasi kemerdekaan manusia.
Manusia
dengan tingkat kearifan seperti ini, terutama jika jiwanya telah matang dalam
mentawhidkan Allah, bisa juga melihat kenyataan, bahwa tuhan tandingan
seperti duit, pangkat, dan syahwat itu memang besar sekali manfaatnya, karena
bisa menjamin banyak macam kebutuhan manusia. Namun, ia juga menyadari
sepenuhnya, bahwa semua tuhan-tuhan tandingan ini tiada yang mutlak nilai
kekuasaan dan pengaruhnya.
Secara
sederhana bisa terlihat olehnya di dalam kenyataan hidupnya, bahwa banyak
pula hal yang sangat penting bagi kebahagiaan manusia yang sejati tidak
mungkin diperoleh dengan duit itu. Walaupun duit bisa membeli makanan yang
enak-enak, umpamanya, namun duit tak mungkin membeli selera untuk seseorang
yang memang sedang patah seleranya akibat sesuatu penyakit.
Duit
memang bisa membeli obat, tapi bukan kesehatan. Duit memang bisa dipakai
untuk membeli rumah yang indah bagaikan istana, namun tidak akan mampu
membeli kebahagiaan suatu rumah tangga yang sakinah (rukun damai). Duit boleh
dipakai untuk membeli buku sebanyak sebuah perpustakaan, namun duit tidak
akan bisa membuat si pembeli buku menjadi tahu ('alim) akan isi buku-buku
itu. Duit memang bisa dipakai untuk membeli perhiasan mewah dan permainan,
namun ia tak berdaya menjadikan si pembeli cantik dan gembira oleh perhiasan
dan permainan itu.
Pendek
kata, hampir semua yang menyebabkan manusia bisa berbahagia, dalam arti kata
yang sebenarnya, tidak dapat dibeli dengan duit itu. Oleh karena itu, sejarah
kemanusiaan selalu membuktikan bahwa kebanyakan orang kaya (harta) mati dalam
kesedihan, terutama jika hatinya tetap gelap tanpa sinaran iman.
Sajak di
bawah ini sangat tepat menggambarkan kenyataan tersebut
$$$
What money
will buy:
A bed but
not sleep
Books but
not brains
Food but not
appetite
Finery but
not beauty
A house
but not a home
Medicine
but not health
Luxuries
but not culture
Amusements
but not happiness
Religion but not salvation
Demikian
pula halnya orang yang berpangkat tinggi, karena pangkat itu selalu sebanding
dengan kekuasaan atau pengaruh. Apabila kekuasaan yang mengiringi pangkat itu
tidak seimbang dengan kekuasaan pengawalnya (control), yang biasanya
disebabkan oleh terjadinya hubung-singkat antara kepemimpinan politik dengan
kepemimpinan militer, akan mudah sekali menyebabkan pemegang pangkat tersebut
menjadi musyrik. Dalam sejarah kemanusiaan sering terbukti, bahwa pemimpin
yang mengalami hal tersebut akan menganggap pangkat yang diperolehnya adalah
prestasi pribadinya semata, maka mulailah ia mempertuhankan dirinya sendiri.
Rakyat yang seyogyanya dipimpinnya, serta negara yang dipercayakan kepadanya
akan dianggapnya milik pribadinya. Ingatlah kaisar Perancis, Louis ke-XIV,
yang berani berkata: "L'etat, c'est Moi" (Negara, itulah Aku).
Louis telah menganggap negara sebagai milik pribadinya.
Tokoh yang
sangat populer dalam hal ini dari sejarah kuno, sehingga berulang kali
diceritakan di dalam al-Qur'an ialah Fir'aun dari Mesir, dan Namrud dari
Mesopotamia. Fir'aun, yang oleh kegagahannya dan keberhasilannya dalam
menjayakan negeri Mesir semasa Nabi Musa dilahirkan, telah berani menganggap
dirinya paling berkuasa. Rakyat, yang pada mulanya terbius oleh kekaguman
akan pemimpin hebat ini menerima saja segala tuntutan Fir'aun.
Akhirnya,
Fir'aun menobatkan dirinya menjadi tuhan, atau maharaja, pembuat dan penentu
hukum, maka semua keinginan dan titahnya menjadi undang-undang kerajaan Mesir
ketika itu. Rakyat akhirnya ditindas oleh Fir'aun, yang sudah mulai
menganggap dirinya tidak pernah bersalah. Sesuai dengan "penyakit
iblis" yang sangat mudah ditularkan itu, maka rakyat Mesir pun mulai
menilai diri mereka sebagai manusia yang lebih mulia dari manusia lain,
karena asal usul dan darah mereka. Maka dengan sendirinya, jika ada yang
lebih mulia tentu ada pula lawannya, yaitu yang kurang derajatnya.
Orang-orang
Yahudi, yang dibawa oleh Nabi Yusuf dan para saudaranya, keturunan Nabi
Ya'qub ke Mesir beberapa generasi sebelumnya, telah berkembang dengan subur
dan makmur di bawah kebijaksanaan pemerintah raja-raja sebelumnya. Maka rasa
iri dan hasad yang timbul di kalangan bangsa Mesir asli menyebabkan mereka
tega menindas bangsa Yahudi ini.
Segala
pekerjaan yang kotor dan berat ditugaskan hanya untuk dilakukan oleh Yahudi.
Bahkan mereka dijadikan hamba bangsa Mesir, yang mesti bekerja tanpa upah.
Maka bentuk sosial dan ekonomi Mesir pun berubah menjadi masyarakat yang
berkelas-kelas. Akhirnya, Fir'aun dengan dukungan rakyat Mesir asli telah mcngangkat
dirinya menjadi tuhan (pembuat dan penentu hukum) bagi negeri Mesir.
Allah
melahirkan Musa AS di kalangan bangsa Yahudi, yang sedang tertindas itu. Musa
sempat mengecap pendidikan tertinggi ketika itu, yaitu dibesarkan dan diasuh
di dalam istana Fir'aun sendiri. Ketika Musa, sesudah menerima wahyu,
menyatakan kepada Fir'aun, bahwa tuhan satu-satunya yang benar dan paling
berkuasa ialah Allah Pencipta seluruh alam, maka Fir'aun dengan bangganya
menjawab: "Aku tidak menyangka, bahwa kalian masih punya tuhan selain
diriku." (Q. 28:38).
Pada
hakikatnya Fir'aun bukan tidak percaya akan adanya Allah Maha Pencipta langit
dan bumi. Ia hanya kejangkitan penyakit, yang sengaja ditularkan oleh iblis,
yaitu sombong atau bangga akan keturunan, yang sudah kita kupas dalam bab
yang lalu. Fir'aun sebenarnya percaya akan adanya Allah Maha Pencipta, tapi
di samping itu ia ingin mempertahankan statusnya sebagai satu-satunya pembuat
dan penentu undang-undang (ilah) bagi negeri dan rakyat Mesir, yang sudah
berjaya dibangun oleh ayahnya dan dikembangkan olehnya sendiri, dengan
menindas dan menghisap darah kaum Yahudi sebagai penyedia tenaga buruh
(budak) yang gratis.
Oleh
karena itu, konsep TAWHID yang ditawarkan Musa demi menegakkan kembali hak
asasi manusia bagi kaum Yahudi ini telah dicemoohkan Fir'aun dan ditolaknya
mentah-mentah sampai ia akhirnya ditenggelamkan Allah SWT di laut Merah,
ketika sedang mengejar pengungsi Yahudi yang dipimpin Musa AS ini.
Penyakit
jiwa yang sama telah dialami juga oleh Namrud ketika ditantang Nabi Ibrahim
AS. Namrud juga sempat mengagungkan dirinya sebagai pencipta dan penentu
undang-undang, yang bisa dipaksakannya kepada rakyatnya, karena kebetulan
rakyat berwatak suka berpikir di dalam bentuk simbol-simbol dan
slogan-slogan. Rakyat, yang terdidik berpikir simbolistis dan karenanya mudah
percaya kepada tahyul dan klenik ini, diperas oleh Namrud dengan menyediakan
patung-patung ciptaan seniman pemahat yang paling unggul, yaitu Azar.
Setiap
patung ini menyatakan simbul keagungan bangsa, yang sebenarnya tiada lain
melainkan keagungan dan kemegahan (baca: impian) Namrud sendiri. Oleh karena
itu, semua patung-patung ini harus diagungkan oleh rakyat dengan menyatakan
kepatuhan mereka kepada negara, yang sudah diidentikkan dengan Namrud sendiri.
Dengan demikian ia berhasil memakmurkan negerinya dengan memanfa'atkan tenaga
rakyat yang murah, sehingga ia bisa menumpuk harta kekayaan yang
berlimpah-limpah. Maka tegaklah kekuasaan Namrud yang mutlak, sebagai
satu-satunya pembuat dan penentu undang-undang bagi bangsanya.
Allah
telah mentaqdirkan Ibrahim AS justru lahir sebagai anak kandung Azar sendiri.
Ibrahim AS, sesudah mendapat wahyu dari Allah SWT, mulai mendidik rakyat
dengan mendemonstrasikan betapa tidak masuk akalnya penyembahan akan
patung-patung yang merupakan simbul keinginan-keinginan Namrud ini. Beliau
memenggal kepala patung-patung ini kecuali yang terbesar, dan meletakkan
kampak yang dipakainya di tangan patung yang terbesar ini.
Ketika
Ibrahim AS diinterogasi di hadapan orang ramai siapa yang memenggal kepala
patung-patung itu, maka sambil tersenyum beliau mengatakan: "Kukira si
patung besar itu, bukankah di tangannya ada kampak; tanyakanlah
kepadanya!" Mendengar jawaban yang cerdik ini rakyat kecil mulai terbuka
pikiran mereka, bahwa patung-patung itu sebenarnya tiada berdaya apa-apa,
bahkan tak dapat membela dirinya dengan mendustakan tuduhan yang dilemparkan
Ibrahim kepadanya. Mereka segera menyatakan: "bukankah dia tidak bisa
bicara?"
Tapi
justru inilah yang paling ditakuti oleh setiap diktator, yaitu: RAKYAT YANG
BISA BERPIKIR DAN BERANI BERBICARA. Maka Namrud merasa rahasia
"kesaktiannya", yang selama ini diagungkan oleh rakyat, akan
terbuka, jika dialog antara rakyat --yang sudah mulai berpikir dan berbicara
ini-- dengan Ibrahim AS diteruskan.
Maka demi
menyelamatkan wibawa dan kedudukannya, tanpa memberikan kesempatan akan
berlanjutnya dialog antara Ibrahim AS dengan rakyat ini, Namrud segera
menjatuhkan hukum dibakar hidup-hidup bagi Ibrahim AS, yang dianggap telah
merendahkan wibawa tuhan-tuhan (baca: Namrud dan keluarganya) nan sakti.
Di dalam
sejarah kemanusiaan selanjutnya terbukti, bahwa setiap diktator dan maha
diraja selalu meletakkan takhtanya di atas segala-galanya. Karena itu nyawa
rakyat tidak menjadi perhitungan sama sekali, kecuali jika bersangkutan
langsung dengan kelestarian takhta itu. Maka setiap diktator harus mempunyai
barisan tentara dan pengawal yang paling kuat serta sangat terlatih dalam
menumpas setiap orang yang dianggap akan menyaingi atau menandingi kewibawaannya.
Seorang
diktator tidak pernah bisa mentolerir hadirnya penanding wibawanya di
dekatnya. Penanding-penanding ini pasti akan disingkirkan atau dimusnahkan
sama sekali. Karena itu, ia akan dikelilingi hanya oleh
"pendukung-pendukung (penjilat) setia". Pendukung-pendukung ini
biasanya mendapatkan imbalan yang lumayan. Imbalan ini biasanya berbentuk
bahagian-bahagian kecil dari takhta (atau wewenang yang terbatas) tadi
ditambah dengan jumlah yang lumayan dari dua jenis "tuhan" lainnya
(harta dan wanita).
Namun
sejarah juga telah berkali-kali membuktikan, bahwa akhirnya setiap diktator
itu hancur oleh kekuasaan yang telah dibinanya sendiri. Lihat Hitler,
Mussolini, Syah Iran, Marcos, Duvalier, dan lain-lain.
Maka
setiap manusia yang 'arif pasti akan bisa merasakan, bahwa semua
"tuhan" yang populer tadi itu bersifat membelenggu serta membatasi
kemerdekaannya. Kemerdekaan, yang merupakan ni'mat Allah satu-satunya yang
telah membedakan manusia dengan makhluk lainnya ini, sangatlah mahal jika
harus dikorbankan demi mendapatkan "tuhan- tuhan" yang sangat
relatfp kekuasaannya ini. Kemerdekaan, bagi manusia seperti ini, merupakan
nilai dan hak asasi yang paling mahal. Oleh karena itu, setiap orang yang
bisa menghargakan serta mensyukuri ni'mat kemerdekaan pasti tidak akan
menggadaikannya kupada "tuhan-tuhan" yang tiga tadi, betapapun
cemerlang kelihatannya wibawa dan kemegahan yang mengelilingi ketiganya,
konon pula kepada tuhan lain yang jauh lebih lemah dan terbatas kemampuannya.
|
4. Ilham yang Kejam
Ada
pula sebahagian manusia, yang mempertuhankan sesuatu yang sebenarnya tiada
manfaat baginya, bahkan merusak kesehatan diri dan lingkungannya, tapi ia sudah
terlanjur meng-ilah-kan sesuatu ini. Tuhan yang satu ini demikian mencekam
pengaruhnya atas diri manusia yang telah menjadi budaknya itu, sehingga
seolah-olah tak terlepaskan dari dirinya.
Inilah
rokok, ilah yang paling jahat jika sudah mengenai seseorang. Penulis sering
memperhatikan orang yang ber-ilah-kan rokok ini. Bagi mereka rokok ini tak
terpisahkan sama sekali dari kehidupannya. Ia bisa lupa makan, bahkan tak
merasa perlu tidur jika sedang menghadapi sesuatu yang menegangkan, misalnya
jika anaknya sakit keras, atau isteri yang sedang kesakitan hendak melahirkan,
dan sebagainya. Namun merokok ia teruskan juga, bahkan semakin banyak.
Memang
para ahli ilmu jiwa pun mengatakan, bahwa rokok dan minuman keras biasa dipakai
sebagai tempat pelarian bagi mereka yang berwatak escapist (melarikan diri dari
kenyataan). Jadi bagi orang ini rokok merupakan tempat pelarian dari kenyataan,
tempat bergantung ketika sedang tegang menghadapi suatu mas'alah berat. Dengan
perkataan lain, rokok menjadi ilah yang paling penting bagi si pencandu rokok.
Sungguh suatu ilah yang paling sial, jika kita ketahui, bahwa para ahli kesehatan
seluruh dunia sudah menyatakan, bahwa rokok itu bukan saja berbahaya bagi si
perokok (penyebab utama penyakit kanker, jantung, dan lain- lain), tapi juga
berbahaya bagi orang yang berada di sekitarnya.
Asap
yang keluar dari rokok ini mengandung CO (carbon monoxide), yang sangat
berbahaya bagi setiap orang, karena selamanya in status nascendi (artinya CO
ini senantiasa akan mengambil O2 yang ada di udara untuk membentuk CO2; padahal
kita sangat membutuhkan O2 ini untuk pernafasan kita). Syukurlah, sudah semakin
banyak 'ulama yang menyadari hal ini, sehingga mereka sudah mulai sepakat
menyatakan, bahwa rokok itu termasuk sesuatu yang diharamkan. Di dalam sidang
para 'ulama di awal abad kedua puluh ini, mereka hanya memutuskan, bahwa rokok
itu makruh, karena kebanyakan yang hadir ketika itu sudah kecanduan merokok.
Padahal jika kita ikuti logika yang kita uraikan di atas, maka para perokok itu
tidak bisa lain melainkan musyrik yang paling konyol.
5.
Tawhid Seorang Muslim
Dengan
bertuhan hanya kepada Allah SWT, yang kekuasaan-Nya memang muthlak dan
benar-benar nyata, pada hakikatnya manusia akan mampu mcni'mati tingkat
kemedekaan yang paling tinggi, yang mungkin tercapai oleh manusia. Inilah yang
dituju oleh setiap Muslim di dalam hidupnya. Setiap Muslim yang betul-betul
beriman adalah manusia yang paling bebas dari segala macam bentuk keterikatan,
kecuali keterikatan yang datang dari Allah Penciptanya. Ia menghargakan
kemerdekaan itu sedemikian tingginya sehingga tanpa ragu-ragu, jika perlu, ia
siap mengorbankan hidupnya sendiri demi mempertahankan kemerdekaan itu. Jika
hal ini terjadi, maka ia akan mendapat kehormatan yang paling tinggi dari Allah
sendiri. Demikian rupa tinggi kehormatan itu, sehingga ummat Islam dilarang Allah
mengatakan orang ini mati, jika ia gugur di dalam mempertahankan haknya ini.
Karena walaupun tubuhnya sudah menjadi mayat, namun dalam penilaian Allah SWT
orang ini tetap hidup. Apanyakah yanghidup? Tiada lain melainkan
KEMANUSIAAN-nya. Bukankah sudah diterangkan di atas, bahwa nilai kemanusiaan
seseorang itu sebanding dengan kemerdekaan yang dihayatinya.
Kalau
seseorang telah gugur dalam mempertahankan kemerdekaannya, maka pada hakikatnya
ia telah mempertahankan nilai kemanusiaannya yang sempurna, karena ia telah
meletakkan hak kemerdekaannya, dus kemanusiaannya, lebih penting dari kehidupan
jasmaninya. Apalah arti kehidupan jasmaniah jika nilai kemanusiaan sudah tiada.
Apalah artinya kehidupan jasmani melulu, jika telah hampa akan nilai
kemanusiaan yang mulia. Bukankah kehidupan hampa seperti ini oleh pepatah
bangsa kita dinamakan: "bak hidup bercermin bangkai .?" Bunyi pepatah
ini selengkapnya ialah: "Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup
bercermin bangkai". Jelas sekali bahwa nilai Islam telah lama meresap ke
dalam jiwa bangsa kita, sehingga pepatah kuno ini telah bernafaskan tawhid.
Kemerdekaanlah
satu-satunya nilai, yang telah ditaqdirkan Allah berfungsi untuk membedakan
manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Sungguhlah kehidupan orang yang
tidak menghayati kemerdekaan, pada hakikatnya telah menempatkan kehadirannya di
dunia yang fana ini serba salah. Dikatakan manusia ia tidak punya nilai
kemanusiaan (kemerdekaan), dikatakan bukan manusia tubuh dan bentuknya
menggambarkan dia tepat seperti manusia.
Oleh
karena itulah, maka mereka yang telah berani membayar nilai kemerdekaannya
dengan mengorbankan kelangsungan hidup jasmaniahnya dinilai Allah lebih hidup
dari mereka yang sekadar "bercermin bangkai" tadi. Di dalam al-Qur'an
mereka yang telah gugur karena mempertahankan kemerdekaannya ini dinamakan
"syahid", karena ia telah berani menjadi "saksi" akan
kebenaran ajaran Allah SWT, yang mengatakan bahwa nilai kemanusiaan, yang pada
hakikatnya abadi itu lebih penting dari kehidupan jasmaniah yang temporer
(sementara atau fana) ini. Allah melarang ummat Islam mengatakan mereka mati,
karena pada hakikatnya mereka itu hidup. Apanyakah yang masih hidup, padahal
batang tubuhnya sudah tergeletak tak bergerak lagi? Mereka tetap hidup di dalam
nilai kemanusiaannya (kemerdekaannya) yang abadi. Dalam ayat Allah SWT
dikatakan: "Jangan engkau katakan mereka yang telah terbunuh dalam jalan
Allah itu mati, karena sesungguhnya mereka itu hidup, tapi engkau tiada
mengerti". (Q. 2:154)
Kehidupan
yang berma'na ialah kehidupan yang bebas dari segala macam keterikatan yang tak
perlu. Namun bebas sepenuhnya tidaklah mungkin bagi setiap manusia. Sebagaimana
telah diterangkan di atas, bahwa setiap orang mesti memerlukan sesuatu yang
dipentingkannya. Oleh karena sifat asli manusia itu haniif (cenderung kepada
kebaikan/kebenaran), maka sesuatu yang dipentingkan oleh manusia itu senantiasa
berupa sesuatu, yang menurut penilaiannya baik/benar. Dengan demikian maka
dapat difahami, bahwa yang dipertuhankan manusia itu biasanya sesuatu yang
menurut dia benar/baik.
Jadi,
tuhan itu selamanya merupakan suatu kebenaran atau kebaikan bagi yang
mempertuhankannya, walaupun relatif atau sementara. Di dalam pengalamannya
manusia merasa terikat akan tuhan-tuhan ini sebelum tuhan-tuhan ini
diperolehnya. Misalnya, orang yang bersedia bekerja keras belajar sampai kurang
tidur, bahkan terlupa makan sebelum menempuh ujian untuk mendapatkan ijazah
tertentu. Pada saat itu ijazah inilah yang menjadi tuhannya, karena ijazah ini
telah mengatur irama hidupnya. Namun setelah ijazah berada di tangan, maka
kcpcntingannya dan nilainya segera jatuh menjadi hampir nol.
|
||||
Dari
contoh ini ternyata bahwa ketuhanan ijazah ini sangat relatif. Ia mencapai
nilainya yang tertinggi pada saat menjelang ia akan diperoleh. Sesudah
diperoleh, maka nilainya jatuh menjadi hampir kosong. Contoh-contoh lain bisa
terlihat dengan mudah di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika ia
sudah mendapat ijazah yang dipentingkannya sebelumnya, maka ia mulai
memikirkan bagaimana mendapatkan teman hidup atau isteri. Maka jika ia
menemukan seorang gadis yang diingininya, maka ia mulai mencintai dan
merindukan gadis itu. Kemanapun ia pergi dan dalam keadaan bagaimanapun ia
tetap mengenang gadis kekasihnya ini.
Maka gadis
inipun mulai mempengaruhi, bahkan kadang kala turut mengatur irama hidupnya.
Dengan lain perkataan, gadis ini berubah menjadi tuhannya. Tingat ketuhanan
gadis ini pun meningkat menjelang hari perkawinan mereka sampai kira-kira
beberapa hari atau beberapa minggu setelah perkawinan itu terjadi. Sesudah
itu nilai "ketuhanan" wanita ini biasanya akan menurun juga. Banyak
pula pasangan suami isteri telah mulai bertengkar sebelum bulan madu mereka
selesai dijalani, bahkan sampai bercerai.
Manusia
memang selalu berpindah dari tuhan yang satu ke tuhan yang lain. Ketika
manusia sedang lapar, maka makananlah yang mudah menjadi tuhan. Ketika sakit
orang akan mempertuhankan kesehatan, walaupun ketika ia sedang sehat hampir
tidak pernah menghargai kesehatan yang sedang dialaminya.
Walaupun
demikian, manusia tidak mungkin mengatakan: "tidak ada tuhan",
karena mengatakan: "tidak ada tuhan", samalah dengan mengatakan
"tidak ada kebenaran". Sedangkan mengatakan "tidak ada
kebenaran" sama dengan mengatakan "semuanya salah". Kalau semuanya
salah, maka kalimat "semuanya salah" itu pun salah pula. Jadi,
kalimat "tidak ada tuhan" itu menafikan dirinya sendiri.
Dari
rangkaian logika ini terbukti bahwa kita tak mungkin mengatakan "tidak
ada tuhan", walaupun di dalam kenyataannya, sebagaimana diuraikan dalam
alinea di atas, bahwa tuhan-tuhan yang dipentingkan manusia itu sangat
relatif nilainya, dan sangat tergantung kepada posisi manusia yang
bersangkutan terhadapnya. Itulah kiranya alasan mengapa al-Qur'an tidak punya
istilah yang artinya identik (sama benar) dengan "atheist" atau
"atheisme" (faham yang menafikan adanya tuhan).
Kalimat
"tidak ada tuhan" ini tidak mungkin berdiri sendiri. Kalimat itu
tidak logis atau tidak dapat diterima aqal atau nonsense alias tidak
bermakna. Kalimat itu hanya bisa bermakna jika ia tidak diakhiri dengan
titik. Jika kalimat "tidak ada tuhan" ini diakhiri dengan koma dan
ditambah menjadi "tidak ada tuhan, kecuali X", maka X menjadi
satu-satunya Tuhan yang berbeda sifat dan posisinya terhadap tuhan-tuhan
lainnya. Ia mau tak mau mestilah mutlak, tidak lagi relatif seperti
tuhan-tuhan yang lain itu.
Karena
mutlak, maka Ia mestilah unique. Kalau Ia unique, maka mestilah pula Ia
berbeda dengan segala yang mungkin terpikirkan dan terbayangkan oleh manusia,
walau apapun yang dinamakan X ini. Di dalam ajaran Islam X inilah yang
dinamakan Allah. Perkataan Allah di dalam bahasa 'Arab sudah ada sebelum
lahirnya Muhammad SAW. Allah dalam bahasa 'Arab merupakan satu-satunya kata
benda (isim atau noun) yang tak punya jama'. Sedangkan kata ilahun punya
"ilaahaini" (dua ilah) dan "alihatun" (tiga atau lebih
ilah).
Maka
ucapan "Laa ilaaha illa Allah" yang berarti "Tiada tuhan
kecuali Allah" merupakan deklarasi kemerdekaan yang paling tinggi (The
ultimate declaration of independence), tapi masih mungkin dicapai oleh setiap
manusia. Deklarasi inilah yang membebaskan setiap manusia, yang mampu
menghayatinya dengan istiqaamah (consistent), dari segala macam bentuk
perbudakan dan penjajahan, termasuk penjajahan hawa nafsunya sendiri. Manusia
yang menghayati deklarasi ini dengan istiqaamah adalah manusia yang paling
sempurna nilai kemanusiaannya. Dalam istilah Islam manusia seperti ini
dinamai "insan kamiil" atau insan sempurna. Barangkali pribadi
seperti ini pulalah yang dimaksud dengan istilah "manusia
seutuhnya" oleh GBHN kita.
Seorang
yang telah mampu mencapai tingkat tawhid yang istiqaamah, maka seluruh irama
hidupnya diatur oleh kehendak Allah SWT. Rasa lapar baginya merupakan cara
Allah berkomunikasi dengan dia. Rasa lapar, yang tiada lain dari pada salah
satu instinct, di dalam al-Qur'an dipakai istilah "wahyu", walaupun
mestinya tidak sama dengan tingkat wahyu yang diterima para nabi dan rasul,
Lihat (Q. 16:68). Maka rasa lapar ini diartikan manusia yang bertawhid sebagai
signal (wahyu) dari Allah agar ia makan demi mempertahankan kelangsungan
hidupnya untuk berbakti (mengabdi) kepada Allah. Oleh karena itu, makan
baginya bukan sekadar mengatasi rasa lapar, tetapi demi memenuhi perintah
Allah, maka pasti akan dimulainya dengan membaca basmallah.
RasuluLlah
telah menyatakan, bahwa orang yang makan dengan cara ini dinilai telah
melakukan 'ibadah. Demikian pula dengan aktivitas lain. Misalnya, jika ia
belajar bukanlah karena ingin mendapat gelar sarjana. Ia belajar karena
mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah mewajibkan setiap Muslim dan
Muslimat untuk belajar. Maka jiwa tawhid akan merupakan motivator utama
baginya untuk bekerja keras dalam menyelesaikan studinya itu, karena belajar
itu dirasakannya sama dengan 'ibadah lain yang akan mendapat ganjaran dari
Allah SWT di dunia dan di akhirat nanti.
Dengan
demikian, maka seorang yang istiqaamah dalam tawhidnya merasakan seluruh
hidup dan kegiatan hidupnya tiada lain melainkan 'ibadah yang kontinyu kepada
Allah SWT. Manusia seperti ini pasti akan mempunyai sikap dan akhlaq yang
lain dari manusia biasa. Ia punya rasa tanggungjawab yang sangat tinggi,
jujur, amanah, kreatif, dan berani mengambil resiko, optimis terhadap masa
depan, disamping tawakkal 'ala Allah dalam melakukan setiap tugas yang berupa
tantangan bagi kemampuan dirinya.
|
||||
6. Muhammad Rasul Allah
Dengan
kupasan yang berdasarkan logika semata kita hanya mampu sampai kepada
pengetahuan, bahwa yang pantas kita ilahkan hanyalah Allah, Yang punya
sifat-sifat Mutlak, Unique (Maha Tunggal), dan Distinct (Beda dengan Semua -
Muchalafatuhu lil hawadithi). Sifat-sifat ini penting, namun tidak akan
memenuhi kebutuhan manusia yang lebih asasi. Manusia sebagai makhluq yang
juga punya rasa di samping aqal menghendaki pula pemuasan fakultas rasa ini.
Ketiga sifat Allah tersebut hanya memenuhi kepuasan aqal, mereka belum
menyentuh hasrat rasa. Hasrat utama setiap manusia yang ingin hidup normal
dan sehat bathiniah tidak terpenuhi hanya dengan mengetahui adanya Allah Yang
Maha Mutlak, Maha Tunggal, dan Maha Berbeda dengan semua.
Demi
memenuhi kebutuhan asasi manusia inilah, maka Allah dengan sifat Rahman dan
Rahim-Nya telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk berdialog dengan manusia
dan menerangkan sifat-sifat-Nya yang lain yang dibutuhkan manusia demi
memuaskan hasrat aqal dan rasa secara seimbang. Salah satu ayat disampaikan
Allah kepada manusia dalam rangka memperkenalkan Diri-Nya kepada manusia
ialah: "Sesungguhnya ilah kamu Ilah Yang Satu, tiada ilah lain selain
Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang." (Q. 2:163).
Dengan
ayat ini Allah telah memperkenalkan Diri kepada manusia sebagai Yang Maha
Pengasih, Maha Penyayang. Sifat yang dua inilah yang sangat didambakan oleh
manusia dalam hidupnya. Tidak ada manusia yang betah hidup di dunia ini tanpa
mendapat dan merasakan kasih sayang yang murni, tanpa pamrih. Sebelum manusia
mencapai umur 'aqil baligh, ia telah mendapat kasih sayang yang murni itu
dari ibu dan bapaknya. Sebelum ia pandai membedakan mana yang baik dan buruk
seyogianyalah manusia diperkenalkan kepada Allah Al Rahman Al Rahim melalui
pendidikan yang penuh kasih sayang orangtuanya. Setiap hari sejak kecilnya ia
telah dididik mengulang-ulang kedua sifat ini minimum tiga puluh empat kali
(tujuh belas raka'at kali dua dalam setiap membaca al Fatihah) demi
meyakinkan dirinya akan kasih sayang Allah ini.
Untuk
dapat menerima ayat tersebut sebagai firman Allah, maka manusia haruslah
mempercayai kerasulan Muhammad SAW sebagai pembawa firman Allah ini.
Keyakinan yang bulat akan integritas Muhammad merupakan syarat mutlak untuk
menerima al-Qur'an sebagai firman Allah. Oleh karena itu sesudah meyakini
kalimat "Laa ilaha illa Allah" seorang Muslim harus pula meyakini
"Muhammad Rasul Allah" sebagai commitment kedua.
Kedua
kalimat ini dikenal dengan nama "Syahadatain" atau dua kalimah
kesaksian. Kalimat kedua merupakan jembatan hati antara setiap Muslim dengan
al-Qur'an sebagai firman Allah yang tak perlu diragukannya, karena
mengandalkan sifat Muhammad yang terkenal "amanah" itu. Maka
seluruh jalan hidupnya akan berpedoman kepada firman Allah yang dikumpulkan
di dalam mushaf yang telah mulai dijilid sejak zaman Abu Bakar, shahabat
terdekat Rasul, dan khalifah pertama sesudah wafatnya RasuluLlah itu.
Pribadi
Ibrahim AS, dan Muhammad SAW merupakan dua tokoh yang paling tepat untuk
menggambarkan kwalitas kemanusiaan yang sempurna ini. Ibrahim AS telah rela
dibakar hidup-hidup karena kalimah "Laa ilaaha illa Allah" ini;
telah sedia diusir dari tanah airnya, telah rela dipindahkan ke tanah gersang
yang tak memberikan kehidupan di lembah bukit Faran (Makkah), telah rela
dipisahkan dengan anak tunggalnya Isma'il AS dan isterinya Sitti Hajar, telah
rela menyembelih anaknya Isma'il AS. Scmua ini dilakukan hanya karena
penghayatan beliau akan sikap "Laa ilaaha illa Allah", tiada tuhan
bagiku selain Allah SWT.
Karena itu
beliau telah mendapat kehormatan yang tertinggi dari seluruh manusia.
Demikian Allah telah memerintahkan setiap Muslim bershalawat kepada Ibrahim
(salaamun 'ala Ibrahim), sebagai BAPAK KEMERDEKAAN atau BAPAK KEMANUSIAAN
yang pertama dan paling utama bagi seluruh manusia.
Ajaran
Nabi Muhammad SAW pun dikatakan merupakan lanjutan ajaran Nabi Ibrahim AS
(Millata Ibrahim). Pokok ajaran Ibrahim AS merupakan missi utama Muhammad
SAW. Di dalam al-Qur'an dijelaskan, bahwa bangsa Quraish, yaitu anak cucu
Nabi Ibrahim melalui putera pertama beliau Nabi Isma'il AS mempunyai
kelebihan khusus. Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT mengembara menuju
lembah bukit Faran yang ketika itu dinamai orang Al-Bakkah, yang artinya
lembah "tangisan". Lembah dengan tanahnya yang gersang itu tidak
memberikan kehidupan sama sekali, sehingga setiap kafilah yang kehabisan
bekal ketika sampai ke tempat itu pasti akan mengalami mati kelaparan dan
kehausan. Ibrahim AS membawa isteri beliau Siti Hajar ke sana semata demi
mematuhi perintah Allah. "Aku pergi memenuhi perintah Tuhanku, Yang akan
menunjuki aku." (Q. 37: 99).
Sesampainya
beliau ke tempat yang gersang ini maka beliau menyadari betapa berat
tantangan yang akan beliau hadapi. Menegakkan kembali reruntuhan Ka'bah, yang
pertama sekali didirikan olhh Nabi Adam AS, namun telah berabad-abad
terbengkalai. Maka beliau kembalikan masalah itu kepada Allah SWT, Yang telah
memerintahkan beliau ke tempat yang tidak memberikan harapan hidup itu. Maka
beliau pun berdo'a memohon agar dianugerahi seorang putera yang shalih
sebagai pendamping beliau menghadapi tantangan alam, yang kurang bersahabat
itu.
"Ya Tuhanku, anugerahilah aku
anak yang shalih". (Q. 37:100)
Maka Allah
menghadiahi beliau dengan seorang anak yang haliim (yang tabah, mendahulukan
tugas daripada menuntut hak, ulet dan tebal iman).
"Kami gembirakan dia dengan
seorang anak yang haliim." (Q. 37 : 100)
Putera
beliau yang pertama ini ialah nabi Isma'il AS, yang sejak kecil telah
mendapat gemblengan sedemikian beratnya sehingga beliau menjadi seorang hamba
Allah yang unggul di dalam segala hal. Sejak berumur beberapa bulan telah
ditinggalkan ayahanda beliau dengan bekal yang sangat sedikit.
Ketika
bekal itu telah habis, dan ibunda beliau Siti Hajar pun telah kehausan,
sehingga air susu beliau telah kering sama sekali, maka dalam melaksanakan
ikhtiar terakhir sambil menunggu ketentuan Allah SWT Siti Hajar berlari
antara bukit Safa dan Marwa mencari air sesudah meninggalkan Isma'il
terbaring di samping fondasi Ka'bah. Sesudah tujuh kali berulang, ketika sisa
daya telah habis kikis, dan bayi Isma'il pun sudah tak bersuara lagi karena
kehabisan energy, maka gerakan kaki Isma'il menyentuh pasir yang gersang itu
telah menyemburkan mata air di bawah tumit beliau. Inilah permulaan dari
sebuah perigi yang terkenal dengan nama perigi Zamzam, yang airnya sunnat
diminum setiap kali seorang Muslim selesai melakukan tawaf mengelilingi
Ka'bah.
|
||||
Pada saat
menjelang dewasa, ketika tenaga Isma'il sudah mulai bisa diharapkan membantu
ayahanda beliau dalam mengerjakan ka'bah, Ibrahim AS dan Isma'il AS mendapat
ujian terberat lagi dari Allah SWT. Ibrahim AS diperintah Allah menyembelih
Isma'il, anak kandung sibiran tulang ini. Ujian terberat ini dijalani
keduanya dengan penuh keikhlasan, yang tiada bandingannya dalam sejarah
kemanusiaan.
"Maka ketika ia (Isma'il)
telah mencapai usia yang boleh bekerja, ia (Ibrahim) berkata: 'Wahai ananda,
Aku telah melihat di dalam mimpiku, bahwa aku harus menyembelihmu, cobalah
ananda renungkan, bagaimanakah pendapatmu?'. " (Q. 37.102)
Dengan
spontan Isma'il AS menjawab: "Wahai ayahandaku, laksanakanlah perintah
Allah itu; ayah akan lihat betapa ananda insya Allah akan tabah
(mematuhinya)." (Q. 37:102)
Inilah
pancaran sikap tawhid yang paling murni yang pernah dibuktikan dalam sejarah
kemanusiaan. Sikap tawhid ini tidak hanya terlihat pada Ibrahim AS, tapi juga
pada anak beliau Isma'il AS.
Watak
Isma'il yang haliim ini mengalir dalam darah keturunan beliau bangsa Quraish,
yang kelak akan melahirkan nabi terakhir bagi kemanusiaan. Bangsa Quraish
adalah bangsa yang militant, kuat dan tangguh menghadapi cabaran alam. Mereka
mampu menantang terik panasnya musim panas dan sejuknya musim dingin, yang
menghcmbuskan angin sejuk menyayat telinga.
"Sudah menjadi kebiasaan kaum
Quraish, kebiasaan menghadang sejuknya musim dingin dan teriknya musim
panas." (Q. 106:1,2)
Bangsa
yang ulet menghadapi tantangan alam ini ternyata telah dipersiapkan Allah SWT
sebagai pembawa suatu missi (mission carrier) yang terpenting bagi
kemanusiaan seluruh dunia. Nilai yang dikandung oleh missi (risalah) ini
merupakan syarat mutlak bagi kebahagiaan setiap bangsa di dunia ini dari
dahulu sampai hari qiamat nanti. Bangsa mana pun yang pernah ada dalam
sejarah kemanusiaan akan mengalami kemakmuran dan kebahagiaan jika menghayati
nilai yang dikandung missi ini. Sebaliknya bangsa manapun akan menderita
kemunduran bahkan kehancuran jika tidak mengamalkan risalah yang nilainya
universal ini. Karena itu Allah menamakan missi ini "rahmah" atau
kasih sayang bagi seluruh kemanusiaan.
"Tiada Kami mengutus engkau
(ya Muhammad), kecuali sebagai pembawa RAHMAH bagi seluruh kemanusiaan."
(Q. 21:107)
Rahmah
yang dibawa oleh RasuluLlah Muhammad SAW ini kemudian disebarkan oleh bangsa
ulet keturunan nabi Ibrahim ini ke seluruh dunia dalam waktu yang sangat
singkat, sehingga dalam waktu kurang dari satu abad telah tersebar ke Barat
sejauh perbatasan kota Paris, dan ke Timur sampai ke perbatasan negeri Cina.
Di dalam
surat Quraisy itu Allah telah menerangkan apa yang dimaksudkan-Nya dengan
"rahmah" atau kasih sayang itu disertai persyaratan yang tegas
untuk mendapatkannya.
"Maka hendaklah mereka
mengabdi hanya kepada (mentawhidkan) Tuhan Pemilik rumah (ka'bah) ini, Yang
akan MEMBEBASKAN MEREKA DARI RASA LAPAR DAN MENGAMANKAN MEREKA DARI RASA
TAKUT." (Q. 106: 3,4)
Sejarah
kemanusiaan telah membuktikan, bahwa manusia kelaparan bukanlah karena
kurangnya bahan makanan yang bisa dihasilkan oleh bumi Allah ini. Manusia
kelaparan, biasanya karena ketidak-adilan ekonomi atau penjajahan ekonomi
atau penguasaan ekonomi oleh sekelompok kccil orang-orang, yang oleh karena
kedudukan politik atau kekuatan modalnya telah tega mengorbankan kepentingan
rakyat yang lebih banyak. Selanjutnya, manusia dicengkeram rasa takut oleh
adanya penindasan (tirani) politik dan atau militer. Oleh karena itu, di
Amerika Serikat dinyatakan sebagai tujuan perjuangan mereka ialah untuk
menegakkan: "Freedom from want, and freedom from fear", yang
artinya: bebas dari rasa lapar dan bebas rasa takut. Dengan perkataan lain:
kemerdekaan ekonomi dan kemerdekaan berpolitik. Tujuan ini mulai dislogankan
pada awal perjuangan mereka sebagai satu bangsa dalam tahun 1776.
Sejarah
bangsa-bangsa yang lalu selamanya membuktikan, bahwa kedua macam kemerdekaan
ini senantiasa merupakan tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Apabila pada suatu
bangsa atau negara kedua macam kemerdekaan ini terjamin, maka bangsa atau
negara itu akan maju dan makmur. Sebaliknya jika kedua macam kemerdekaan ini
tertekan, maka bangsa atau negara itu mengalami kemunduran, bahkan ada
kalanya sampai hancur sama sekali. Bekas-bekasnya biasanya ditinggalkan Allah
sebagai bukti hukum besi sejarah yang akan dapat dipelajari oleh manusia yang
mau mengambil hikmah dari padanya. Oleh karena itu Allah berfirman beberapa
kali dalam al-Qur'an menganjurkan agar manusia menjelajahi bumi ini demi
mempelajari akibat perbuatan bangsa-bangsa dahulu yang telah mendurhakai
hukum-hukum Allah SWT ini. Diantara firman-firman Allah itu ialah:
"Sesungguhnya telah berlaku
sunnah Allah pada masa sebelum kamu, maka jelajahilah muka bumi ini dan
telitilah akibat perbuatan mereka yang telah mendustakannya." (Q.3:137).
Lihat juga (Q. 12: 109; 22: 46, 27: 69; 30:42).
Sejarah
bangsa Mesir dengan kezhaliman Fir'aunnya, bangsa 'Ad dan Thamud, bangsa
Babylonia yang telah melahirkan Nabi Ibrahim AS, dan bangsa Incus (di daerah
Mexico sekarang ini) merupakan beberapa contoh peristiwa yang membuktikan kebenaran
ayat Al-Qur'an tersebut. Mereka hancur bahkan hilang dari permukaan bumi, dan
diganti Allah SWT dengan bangsa yang lebih mampu menegakkan kedua nilai ini.
Oleh
karena mereka yang miskin dan dilemahkan (oleh sistim ekonomi atau struktur
kekuasaan yang tidak kerakyatan) sangat berkepentingan terhadap tegaknya
kedua macam kemerdekaan ini, maka biasanya merekalah yang paling gigih
memperjuangkan tegaknya kemerdekaan ini. Hampir semua jalan sejarah
bangsa-bangsa di dunia ini menggambarkan kepada kita, bahwa jika kelompok
manusia yang dilemahkan itu bersatu dan berjuang, maka kekuatan penindas yang
bagaimana hebatnya pun tidak akan mampu menghadangnya. Allah pun telah
berjanji akan memberikan kemenangan beserta amanah kepemimpinan dan pewarisan
kepada mereka yang berjuang untuk merebut kembali hak asasi mereka yang
merupakan anugerah Allah itu.
"Kami telah berkeinginan
membantu mereka yang telah ditindas (diperlemahkan) di muka bumi, dan akan
menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan pewaris-pewaris." (Q.28:5)
Maka dari
ulasan ini pun nampak jelas apa yang telah kita bincangkan semula, yaitu
tegaknya kemerdekaan ini hanyalah melalui suatu perjuangan dan pengorbanan
yang berat. Memanglah mentawhidkan Allah itu merupakan suatu prestasi yang
paling besar dalam hidup setiap insan. Oleh karena itu, memenangkan
perjuangan ini berarti telah memenangkan suatu perjuangan yang paling besar
dalam kehidupan seseorang. Mereka yang menang akan merasakan nikmat Allah
yang paling tinggi berupa penghayatan secara penuh nilai deklarasi
"laa-ilaaha illa Allah". Mereka punya suatu sikap mental
kemanusiaan yang paling tinggi derajatnya. Pribadi yang punya sikap mental
seperti ini tiada mengenal kata- kata tunduk, kecuali kepada Allah. Mereka
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu semata-mata demi mendapat
keridhaan Allah. Inilah sikap mental yang paling merdeka, karena itu paling
berbahagia hidupnya di dunia ini.
Kuliah Tauhid
Ir. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim M.Sc.
Diterbitkan oleh Pustaka-Perpustakaan Salman ITB
Bandung, 1400H, 1980
Cetakan 1, 1979, dan cetakan 2 1980
(Muhammad 'Imaduddin 'AbdulRahim Ph.D., KULIAH TAWHID, Yayasan Pembina Sari
Insan (YAASIN), Jakarta, 1993)
|