On 15.17 by Unknown
Mentawhidkan
Allah adalah ajaran pokok yang disampaikan oleh setiap Nabi dan Rasul, yang
diutus oleh Allah sejak awal sejarah kemanusiaan. Namun sejarah kemanusiaan
penuh dengan kegagalan-kegagalan manusia dalam menghayati ajaran tawhid ini,
sehingga setiap kali ajaran yang murni dan exact ini perlu diperbaharui atau
dikoreksi oleh Rasul-rasil berikutnya sesudah mengalami beberapa distorsi yang
membahayakan nilai-nilai kemanusiaan.
Nilai
kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan. Kemerdekaanlah satu-satunya
nilai yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Tanpa kemerdekaan
manusia sebenarnya tidak mungkin menjalani hidupnya sebagai manusia. Dengan
perkataan lain, tanpa kemerdekaan pada hakikatnya manusia berhenti jadi manusia
atau tidak lagi berfungsi sebagai manusia. Oleh karena itu, harga diri setiap
manusia justru diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan
dipertahankan manusia itu.
Secara
individu setiap manusia dilahirkan merdeka. Namun dalam mempertahankan hidupnya
manusia pada tingkat awal dari kehidupannya itu terpaksa tergantung kepada
manusia lain, yaitu ibunya. Akan tetapi, setiap ibu telah dianugerahi Allah SWT
suatu rasa kasih sayang kepada anak yang dilahirkannya sedemikian sempurnanya,
sehingga setingkat hanya di bawah sifat Rahman (kasih sayang) daripada Allah
sendiri.
Oleh karena
kasih sayang ibu yang ditujukan kepada anak-anaknya ini demikian murninya
(ikhlash) dan tanpa pamrih sama sekali, maka nilai kemerdekaan si anak tidak
akan tercemar oleh sifat ketergantungannya kepada kasih sayang ibu pada awal
hidupnya itu. Kasih sayang ibu ini ditopang pula oleh kasih sayang ayah yang
tingkat kesempurnaannya setingkat di bawah kasih sayang ibu.
Dengan
landasan kasih sayang yang tulus antara sesama anggota keluarga ini, seorang
anak akan mulai menjalani hidupnya di tengah-tengah pergaulan sesama manusia.
Oleh karena itu pula maka durhaka kepada ibu adalah merupakan dosa yang
terberat sesudah syirik, dan tak akan diampunkan Allah selama ibu sendiri tidak
mengampunkannya.
Oleh karena
kehidupan antar sesama manusia ini senantiasa merupakan proses
memberi-dan-menerima (give-and-take) secara terus menerus (langgeng), kehidupan
di tengah-tengah keluarga haruslah bisa merupakan persiapan yang cukup untuk
menghantarkan seseorang agar dapat hidup ke tengah pergaulan masyarakat dalam
proses memberi-dan-menerima secara seimbang.
Apabila
ketidak-seimbangan terjadi --ia lebih banyak menerima atau lebih banyak
memberi-- maka dengan sendirinya ia dihadapkan dengan suatu tantangan yang menentukan
nilai kemerdekaannya, yang akan sebanding dengan nilai dirinya. Kalau ia
memberikan response terhadap ketidak-seimbangan ini sedemikian, sehingga ia
mengorbankan nilai kemerdekaannya, misalnya menjadi tergantung kepada pihak
yang telah terlalu banyak memberi kepadanya, maka harga dirinya sebagai manusia
dengan sendirinya jatuh atau sedikitnya menurun. Seberapa jauh jatuhnya ini
sebanding dengan seberapa jauh nilai kemerdekaan yang telah dikorbankannya.
Sebaliknya
jika dalam memberikan response tadi ia sampai merugikan orang lain berarti ia
telah merampas nilai kemanusiaan (kemerdekaan) orang itu, sehingga ia dengan
sendirinya telah menobatkan dirinya menjadi penindas hak orang lain itu. Kedua
hal yang tak seimbang ini dikutuk oleh Allah, karena berarti manusia yang
bersangkutan telah tidak mensyukuri nikmat Allah yang paling utama, yaitu
kemerdekaan yang wajib dipertahankan dengan segala pengorbanan yang perlu untuk
itu. Oleh karena itu, pergaulan hidup yang seimbang (harmoni) senantiasa
menjadi dambaan setiap manusia yang Islam.
Namun dalam
kenyataannya, lebih sering terjadi dalam kehidupan manusia di dunia ini, proses
pergaulan yang tidak seimbang, sehingga sejak dahulu telah tercipta dalam
sejarah kemanusiaan kehidupan masyarakat yang tindas menindas, hisap menghisap,
peras memeras dengan segala taktik dan tehnik yang bersangkutan dengan itu.
Semua ini merupakan bentuk-bentuk dari proses memberi-dan-menerima yang tak
seimbang.
Dapat
dipastikan pula, bahwa terjadinya kelas-kelas dan tingkat-tingkat kebangsawanan
di dalam masyarakat manusia senantiasa disebabkan oleh mengalahnya kemanusiaan
terhadap rencana iblis yang suka menganggap dirinya lebih baik dan lebih mulia
dari yang lain, sebagaimana dijelaskan di atas.
Mungkin
mengalahnya kebanyakan manusia, anggota sesuatu masyarakat, terhadap tuntutan
sebahagian kecil dari anggotanya akan hak-hak istimewa ini pada mulanya
disebabkan oleh rasa takut kepada kelompok yang menuntut, karena kegagahan atau
kekuasaan para penuntut ini.
Mungkin pula
oleh karena kekaguman masyarakat yang agak berlebih-lebihan kepada kelompok
penuntut ini disebabkan jasa-jasa mereka dalam menyelamatkan bangsa atau tanah
air ketika berada dalam keadaan bahaya, dan sebagainya. Bukankah yang menjadi
idola setiap bangsa di dunia ini biasanya para pahlawan bagi bangsa yang
bersangkutan, baik pahlawan di medan perang atau pahlawan di bidang-bidang
lain, yang disangka sangat menentukan nasib dan "nama baik" bangsa
tersebut?
Iblis, dalam
hal ini, hanya tinggal memperbesar saja rasa kekaguman dan penghormatan ini
sedemikian, sehingga menjadi "penyembahan". Penulis sengaja memberi
tanda kutip pada kata penyembahan di sini, karena ma'na "penyembahan"
di sini tidaklah mesti harfiah: rasa hormat dan kagum, yang diiringi sikap
patuh-tanpa-tanya, misalnya, termasuk juga dalam arti "penyembahan"
ini. Sikap patuh karena kelebihan rasa takut, bahkan rasa ketergantungan kepada
sesuatu atau seseorang pun tercakup dalam pengertian "penyembahan"
ini.
Oleh karena
mudahnya manusia terseleweng ke arah pemujaan akan tokoh-tokoh yang sangat
berjasa dan dikagumi serta dihormati inilah maka sejak dahulu Rasul Allah
sangat berhati-hati di dalam mendidikkan sikap tawhid ini kepada para shahabat
beliau.
Beliau
sampai menolak dan melarang para shahabat memanggil beliau dengan
"Saidina" yang artinya "Tuan Kami" (Our Master) demi untuk
mencegah pengkultusan pribadi beliau. Walaupun demikian, kita bisa membaca di
dalam sejarah, bahwa di antara shahabat ada juga yang hampir tergelincir, maka
segera dikoreksi yang lain dengan tegas dan tepat. Salah satu kejadian kiranya
perlu dikemukakan sebagai contoh akan betapa halus dan dalamnya sikap tawhid
ini tertanam di hati sanubari para shahabat terdekat beliau.
Di akhir
hayat Rasulullah, sesudah turunnya ayat terakhir dari al-Qur'an, beliau
menyusun suatu barisan yang akan dikirim ke Utara demi mengamankan daerah itu
dari incaran dan gangguan tentara Romawi Timur. Namun sebelum barisan ini
terkirim beliau jatuh sakit, sehingga pengiriman ini terpaksa ditunda sampai
beliau sembuh. Tapi taqdir Allah SWT telah menentukan bahwa beliau tidak sembuh
lagi. Setelah beberapa hari sakit, beliau wafat.
Kebetulan
ketika itu shahabat terdekat Abubakar Shiddiq sedang keluar kota Madinah
mencari nafkah, sehingga Siti 'Aisyah menyampaikan berita wafatnya Rasul itu
hanya kepada orang yang kebetulan ada di dekat masjid Rasul itu. Ketika usaha
orang ini menyiarkan berita duka ini kepada yang lain terdengar oleh 'Umar,
maka 'Umar sebagai orang yang berdarah militer, yang senantiasa berfikir dalam
rangka keamanan dan ketertiban segera memberikan reaksi yang agak berlebihan.
"Barangsiapa
yang mengatakan Muhammad wafat akan kupenggal lehernya", katanya sambil
menghunus dan mengacungkan pedang dengan mata yang galak, karena 'Umar
menyangka, bahwa berita buruk seperti itu di saat Rasul sedang berusaha
menyusun barisan untuk menyerang Romawi Timur, mesti datang dari agen-agen
subversive. Karena semua orang mengenal 'Umar sebagai pahlawan, yang tak kenal
mundur berhadapan dengan siapapun, maka tidak ada yang berani meneruskan
penyebaran berita wafatnya RasuluLlah itu.
Seorang yang
hadir di tempat itu akhirnya mendapat akal dan segera menyelinap meninggalkan
suasana tegang yang dibuat oleh 'Umar itu untuk menemui Abubakar. Ketika
Abubakar datang beliau segera bisa melihat suasana tegang di sekitar masjid
Rasul, dan setelah melihat 'Umar dengan mata yang galak mengacungkan pedang
itu, maka beliau segera faham kira-kira apa yang telah terjadi. Beliau segera
masuk ke kamar Siti 'Aisyah untuk melayat Rasulullah, yang sudah ditutupi oleh
'Aisyah.
Beliau
membuka penutup wajah Rasul, menciumnya dan berdo'a. Setelah menutup kembali
wajah Rasul, maka beliau ke luar dan masih mendapati suasana tegang oleh sikap
'Umar yang masih berdiri dengan pedang terhunus dan diacungkan tinggi. Maka
Abubakar berbicara dimulai dengan membaca ayat Ali 'Imran 144: "Muhammad
itu hanya seorang Rasul; Sebelumnya telah berlalu Rasul-rasul. Apabila ia wafat
atau terbunuh, apakah kamu berbalik menjadi murtad? Tapi barangsiapa berbalik
menjadi murtad, sedikit pun tiada ia merugikan Allah. Allah memberi pahala
kepada orang yang bersyukur."
Setelah
membacakan ayat ini beliau lantas mengatakan dengan suara lantang:
"Barangsiapa menyembah Muhammad, ketahuilah, bahwa Muhammad telah wafat,
tetapi barangsiapa menyembah Allah, ketahuilah Allah hidup
selama-lamanya."
Mendengar
ayat dan pidato yang tepat dan tajam ini tangan 'Umar menjadi lemas, pedang dan
tangannya jatuh ke bawah dan sambil mengucap istighfar pedang itu segera
disarungkannya kembali. Walaupun ayat yang dibaca Abubakar itu telah lama
dihafalnya di dalam kepalanya, ketika itu seolah-olah ia baru mendengarnya kali
itu.
Kalau pribadi seperti 'Umar bisa tersilap dalam
keadaan genting, konon pula kita yang beriman tipis ini. Ini membuktikan bahwa
bertawhid secara konsisten itu memang tidak mudah. Ia memerlukan latihan berat
dengan disiplin pribadi yang ketat.Dikutip dari : Kuliah Tauhid
Ir. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim M.Sc.
Diterbitkan oleh Pustaka-Perpustakaan Salman ITB
Bandung, 1400H, 1980