On 01.36 by Unknown
Dakwah Islamiyah telah melahirkan satu generasi manusia, generasi
sahabat Rasulullah SAW, Ridhwanullahi alaihim. Yaitu suatu generasi yang paling
istimewa di dalam sejarah Islam dan sejarah kemanusiaan lainnya.
Generasi itu tidak pernah muncul dan timbul lagi sesudah itu,
walaupun terdapat juga beberapa pribadi dan tokoh tertentu di sepanjang
sejarah, tetapi tidaklah lahir lagi segolongan besar manusia, di satu tempat
yang tertentu pula, seperti yang telah muncul dan lahir di dalam generasi
pertama dakwah ini.
Ini adalah satu fakta dan kenyataan yang tak terbantahkan yang
di dalamnya mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu kita perhatikan dan
renungkan dengan sungguh-sungguh, agar dapat kita menyelami rahasianya.
Al-Quran yang menjadi sumber dakwah ini masih berada
bersama-sama kita. Hadis Rasulullah SAW dan petunjuk-petunjuk perjalanan hidup
dan sirahnya yang mulia itu juga masih ada di samping kita. Keduanya juga telah
ada bersama-sama dengan generasi yang terdahulu itu, tidak hilang oleh
perjalanan sejarah dan tidak lapuk oleh perkembangan zaman; hanya diri Rasulullah
SAW saja yang tidak lagi bersama kita sekarang. Inikah rahasia perbedaan antara
generasi sahabat dengan generasi kita saat ini?
Allah SWT telah memberikan jaminan untuk memelihara Al-Quran,
dan telah mengetahui bahwa dakwah ini harus terus tegak selepas zaman
Rasulullah SAW. Setelah membuahkan hasil yang baik; lalu diwafatkan-Nya
Rasulullah SAW setelah 23 tahun beliau menjalankan tugas dakwah dan
menyampaikan tugas kenabian. Allah SWT akan tetap memelihara agamaNya ini
hingga ke hari kiamat. Dengan demikian, maka ketiadaan diri Rasulullah SAW itu
tidak boleh dijadikan jawaban atas kegagalan dakwah di zaman ini.
Pasti ada sebab lain yang membedakan antara generasi kita
dengan generasi sahabat Rasulullah saw. Mari kita lihat pada sumber rujukan
generasi pertama itu. Mungkin sesuatunya telah berubah. Kemudian kita lihat
pula kepada program dan jalan yang telah dilalui mereka, barangkali ada sesuatu
yang berlainan dengan kita.
Sumber pokok yang dijadikan rujukan oleh generasi pertama itu
ialah Al-Quran, hanya Al-Quran saja. Hadis Rasulullah SAW dan petunjuk-petunjuk
beliau adalah semata-mata merupakan penafsiran kepada sumber utama itu. Ketika
`Aisyah Radhiallahu’anha ditanya mengenai perilaku dan perjalanan hidup
Rasulullah SAW maka beliau menjawab: “Perilaku dan perjalanan hidup beliau
[Rasulullah SAW] itu ialah Al-Quran” (Hadis riwayat Nasai)
Hanya Al-Quran sajalah yang menjadi sumber panduan mereka,
perjalanan hidup dan gerak-gerik mereka. Ini bukanlah karena umat manusia di
zaman itu tidak punya peradaban, tidak punya kebudayaan, tidak punya pelajaran,
tidak punya buku karangan dan tidak punya kajian!
Sekali lagi tidak! Karena sebenarnya di zaman itu telah ada
peradaban dan kebudayaan Romawi, buku-buku dan undang-undangnya, yang telah dan
masih diikut dan dijadikan panduan oleh orang-orang Eropa sampai hari ini. Di
sana juga telah wujud peninggalan peradaban Yunani (Greek), ilmu mantiknya,
falsafah dan keseniannya, yang juga masih menjadi sumber pemikiran Barat hingga
sekarang; malah di sana juga telah wujud peradaban Parsi, keseniannya,
sajaknya, syair dan dongengnya, kepercayaan dan sistem perundangannya, serta
peradaban lain, seperti India, China.
Romawi dan Parsi berada di sekeliling semenanjung Arab, baik
di utara maupun di selatan. Ditambah lagi agama Yahudi dan Nasrani yang telah
ada di tengah-tengah semenanjung itu sejak berapa lama.
Jadi bukanlah faktor kekurangan peradaban dan kebudayaan
duniawi yang menyebabkan generasi pertama itu merujuk kepada Kitab Allah
(Al-Quran) saja dalam masa pertumbuhan mereka, tapi justeru karena “planning”
yang telah ditentukan dan program yang telah diatur.
Dalil yang terang atas keadaan ini ialah kemurkaan Rasulullah
SAW ketika beliau melihat Sayyidina Umar bin Al-Khattab R.A. memegang sehelai
kitab Taurat. Melihat keadaan ini beliau pun bersabda: “Demi Allah sekiranya
Nabi Musa masih hidup bersama-sama kamu sekarang ini, tidak halal baginya
melainkan mesti mengikut ajaranku.” (Hadis riwayat Al-hafidz Abu Ya’la dari
Hammad dari Asy-sya’bi dari Jabir)
Yang demikian maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa
Rasulullah SAW, bermaksud dan mengarahkan supaya sumber panduan dan pengajaran
generasi pertama itu, dalam peringkat pertumbuhan mereka, hanya terbatas kepada
kitab Allah (Al-Quran) saja supaya jiwa mereka menyatu dengan programNya yang
tunggal itu. Karena itulah beliau murka melihat Umar bin Al-Khattab R.A.
mencoba mencari panduan lain selain Al-Quran.
Rasulullah SAW bertujuan membentuk satu generasi yang bersih
hatinya, bersih pemikirannya, bersih pandangan hidupnya, bersih perasaannya,
dan murnii jalan hidupnya dari unsur lain selain landasan Ilahi yang terkandung
dalam Al-Quranul Karim.
Generasi sahabat Rasul menerima panduannya dari sumber yang
tunggal. Oleh kerana itulah generasi itu telah berhasil membentuk sejarah
gemilang di zamannya. Lalu, apakah yang telah terjadi saat ini?
Sumber-sumber panduan itu saat ini telah bercampur baur!
Sumber itu telah dimasuki falsafah Yunani (Greek), dongeng-dongeng dan
pandangan hidup Parsi, cerita-cerita Israeliat Yahudi, falsafah Ketuhanan
ala-Kristian yang telah bercampur baur di dalam tafsir Al-Quran dan ilmu
Al-Kalam, dan juga telah dimasuki oleh peninggalan peradaban zaman lampau yang
sukar dikikis.
Di samping itu, banyak lagi sumber panduan lain yang telah
bercampur baur dengan tafsir Al-Quran, ilmu Al-Kalam, ilmu fiqih dan ilmu
usuluddin. Campuran panduan inilah yang telah melahirkan generasi-generasi
berikutnya. Karena itulah maka bentuk generasi pertama yaitu generasi para
sahabat Rasulullah SAW, tidak lahir lagi setelah mereka.
Memang tak dapat diragukan lagi bahwa bercampur-baurnya sumber
panduan itulah yang menjadi faktor utama mengapa generasi berikutnya berlainan
sama sekali dari bentuk generasi pertama yang unggul itu.
Di sana, ada satu lagi faktor asasi selain daripada perubahan
sumber itu, yaitu berbedanya cara menerima pengajaran antara generasi para
sahabat Rasulullah SAW dengan generasi-generasi kemudiannya.
Mereka, para sahabat Rasulullah di dalam generasi pertama itu,
tidak mendekatkan diri mereka dengan Al-Quran dengan tujuan mencari pelajaran
dan bahan bacaan. Bukan juga dengan tujuan mencari hiburan dan penglipur lara.
Tiada seorang pun dari mereka yang belajar Al-Quran dengan tujuan menambah bekal
dan bahan ilmu semata-mata untuk ilmu dan bukan juga dengan maksud menambah
bahan ilmu dan akademi untuk mengisi dada mereka saja.
Generasi sahabat mempelajari Al-Quran itu dengan maksud hendak
belajar bagaimanakah arahan dan perintah Allah dalam urusan hidup pribadinya
dan hidup bermasyarakat. Mereka belajar untuk dilaksanakan dengan segera,
seperti seorang perajurit menerima “arahan harian”!
Juga tiada seorang pun dari mereka yang mencari pelajaran
tambahan atau pun arahan tambahan dalam satu majelis pengajian atau suatu
majelis taklim saja, karena dia tahu bahwa yang demikian itu akan menambah
beratnya tugas. Kadang-kadang, mereka cukup dengan hanya sepuluh ayat saja
sehingga benar-benar menghafalnya dan dilaksanakan arahan-arahannya seperti
yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a.
Sikap inilah yang terbentuk: yaitu belajar untuk melaksanakan,
yang telah menambah luasnya lapangan hidup mereka, menambah luasnya ma’rifat
dan pengalaman mereka dari ajaran Al-Quran yang tidak mungkin mereka capai
kalau sekadar belajar dari Al-Quran dengan tujuan menyelidik dan mengkaji serta
membaca saja.
Perasaan belajar untuk melaksanakan ini jugalah yang telah
memudahkan mereka bekerja dan meringankan beban mereka yang berat, karena
Al-Quran telah menyatu dan menjadi darah daging mereka.
Perasaan ini jugalah yang menjadikan Al-Quran tertanam kuat ke
dalam jiwa mereka hingga meresap menjadi panduan dalam gerakan mereka, ia
melahirkan pelajaran yang menggerakkan aktivitas, pelajaran yang tidak lagi
merupakan teori yang bersarang di dalam kepala manusia dan di halaman kertas
dan buku-buku saja. Bahkan ianya menjadi kenyataan yang melahirkan kesan dan
peristiwa yang mengubah garisan hidup.
Al-Quran tidak akan memberi dan mencurahkan isi
perbendaharaannya kecuali kepada orang yang datang bertumpu kepadanya dengan
ruh dan jiwa ini: yaitu ruh dan jiwa ma’rifat yang membuahkan amal dan
tindakan.
Al-Quran datang bukan sebagai sebuah buku penglipur lara,
bukan sebagai sebuah buku sastera, juga bukan sebagai buku kesenian, sejarah
dan novel; ia datang untuk dijadikan panduan hidup, panduan Ilahi yang tulen;
dan Allah SWf sendiri telah merasmikan Al-Quran ini sebagai garis pemisah di
antara hak dan batil.
Firman Allah:
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرََأهُ عََلى النَّاسِ عََلى
مُكْثٍ وَنَزَّْلنَاهُ تَترِي ً لا
“Dan Al-Quran itu telah Kami bagi-bagikan dia agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dengan lambat dan tenang dan Kami
menurunkannya dengan beransur-ansur.” (Al-Isra’: 106)
Al-Quran tidak diturunkan sekaligus. Ia diturunkan mengikut
keperluan-keperluan yang senantiasa berubah, mengikuti perkembangan fikiran dan
pandangan hidup serta perubahan masyarakat. Ia diturunkan mengikuti
perkembangan masalah praktis dan fakta kehidupan masyarakat Islam.
Ayat demi ayat diturunkan untuk suasana tertentu dan peristiwa
khusus dan untuk membongkar isi hati manusia; untuk menggambarkan urusan yang
mereka hadapi, dan menggariskan program kerja mereka dalam sesuatu suasana,
juga untuk memperbaiki kekhilapan perasaan dan perjalanan hidup, supaya mereka
senantiasa merasa terikat dengan Allah dalam setiap suasana.
Ia diturunkan secara bertahap agar bisa mengajar mereka
mengenal Allah SWT melalui sifat-sifatNya dan juga melalui bukti-bukti
perkembangan dan perubahan alam. Dengan demikian mereka akan merasakan bahwa
diri mereka terus menerus terikat dengan tunduk kepada Allah SWT, terus menerus
di bawah perhatian Ilahi.
Ketika itu, mereka merasakan bahwa mereka sedang hidup di
bawah pengawasan Allah SWT secara langsung.
Dasar “belajar untuk melaksanakan terus” itu merupakan faktor
utama membentuk generasi pertama dahulu, manakala dasar “belajar untuk, dibuat
kajian dan penglipurlara” itulah yang merupakan faktor penting yang melahirkan
generasi-generasi kemudiannya.
Tidak syak lagi bahwa faktor kedua inilah bukti sebab utama
mengapa generasi-generasi yang lain itu berlainan sama sekali dengan generasi
pertama, generasi para sahabat Rasulullah SAW.
Di sana ada satu lagi faktor yang mesti diperhatikan dan
dicatat benar-benar.
Seorang yang menganut Islam itu sebenarnya telah melepas
dirinya dari segala sesuatu di masa lampaunya di alam jahiliyah.
Dia merasakan ketika pertama kali menganut Islam, itulah zaman
baru dalam hidupnya; terpisah sejauh-jauhnya dari hidupnya yang lampau di zaman
jahiliyah. Sikapnya terhadap segala sesuatu yang berlaku di zaman jahiliyah
dahulu ialah sikap seorang yang sangat berhati-hati dan berwaspada.
Dia merasakan bahwa segala sesuatu di zaman jahiliyah dahulu
adalah kotor dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan perasaan inilah dia
menerima hidayah dan petunjuk Islam yang baru itu dan sekiranya dia didorong
oleh nafsunya sesekali, atau sejenak dia merasa tertarik dengan kebiasaannya
yang dahulu, atau kalau dia merasa lemah dari menjalankan tugas dan kewajipan
keislamannya sesuatu ketika, niscaya dia merasa bersalah dan berdosa.
Dia merasakan dari lubuk hatinya bahwa dia perlu membersihkan
dirinya dari apa yang berlaku itu; lalu dia berusaha sedaya upaya mengikuti
panduan yang digariskan oleh Al-Quran.
Di sana juga terdapat pemisahan secara total antara zaman
lampau seseorang Muslim dalam keadaan jahiliyahnya dengan zaman barunya di
dalam Islam, yang akan menimbulkan pula pemisahan secara menyuluruh dalam
segenap hubungannya dengan masyarakat jahiliyah.
Dia melepas total dengan tata hidup masyarakat jahiliyah
dahulu dan berhubungan langsung selama-lamanya dengan masyarakat Islam;
walaupun kelihatan pada lahirnya dia sering berhubungan dengan orang-orang
musyrik dalam perdagangan dan pergaulan hidup seharian, tetapi perpisahan perasaan
dan pergaulan hidup seharian adalah dua hal yang berlainan dan berbeda sekali.
Di sana ada semacam pemisahan, yaitu perpisahan suasana
jahiliyah dalam kebiasaan dan pandangannya, adat dan tingkah laku, yang timbul
dari pemisahan syirik ke akidah tauhid. Dari konsep jahiliyah ke konsep Islam
mengenai masalah hakikat hidup dan hakikat wujud; juga timbul dari
keberadaannya dengan perkumpulan dan organisasi Islam yang baru, di bawah
pimpinan baru, dan sikap memberi segenap perhatian, kepatuhan dan kesetiaan
kepada masyarakat, perkumpulan dan organisasi baru di bawah pimpinan baru itu.
Inilah dia persimpangan jalan dan permulaan langkah di jalan
baru, langkah yang bebas merdeka dari segala tekanan adat kotor yang dipatuhi
sepenuhnya oleh masyarakat jahiliyah dan segala nilai yang menjadi
kebiasaannya.
Di sana tiada risiko yang akan ditempuh selain dari ujian dan
penderitaan. Namun demikian, mereka secara otomatis telah bertekad bulat untuk
tidak akan kembali lagi kepada kebiasaan dan perilaku jahiliyah, buat
selama-lamanya.
Kita sekarang sedang berada di tengah-tengah suasana jahiliyah
yang serupa dengan suasana jahiliyah yang ada pada zaman kedatangan Islam
dahulu. Bahkan, lebih gelap lagi.
Segala sesuatu di sekitar kita ialah jahiliyah konsep hidup manusia
sekarang, akidah kepercayaan mereka, adat istiadat dan kebiasan mereka, sumber
pelajaran seni dan sastera mereka, peraturan dan undang-undang mereka, hingga
banyak perkara yang kita anggap sebagai pelajaran Islam, buku rujukan Islam,
falsafah Islam dan pemikiran Islam sebenarnya adalah hasil ciptaan jahiliyah!
Oleh kerana itulah maka nilai Islam saat ini tidak lagi murni
dan tidak hidup subur di dalam jiwa kita. Teori Islam tidak begitu terang lagi
di dalam pemikiran dan ide. Di kalangan kita sekarang, tidak lagi muncul suatu
generasi manusia raksaksa dari model yang dilahirkan oleh Islam di zaman
pertama dahulu.
Oleh itu, di dalam program gerakan ke-Islaman, kita mesti
membebaskan diri di peringkat permulaan, di peringkat taman kanak-kanak lagi,
dari berbagai pengaruh jahiliyah yang selalu menghayati kita sekarang.
Kita mesti kembali ke pangkal jalan, kepada sumber yang murni
yang telah digali dan ditimba oleh orang-orang sebelum kita; yaitu sumber yang
terjamin tidak bercampur baur dengan sumber yang lain.
Kita mesti kembali kepada Al-Quran untuk mendapatkan teori
mengenai hakikat wujud seutuhnya dan juga hakikat wujudnya umat manusia dan
segala hubungan di antara kedua jenis wujud ini dengan wujud yang hakiki, yaitu
wujud Allah SWT.
Dari situlah kita mengambil pandangan terhadap hidup, kita
mengambil nilai diri dan akhlak kita, serta kita mengambil panduan dan program
pemerintahan, politik, ekonomi dan segala aspek kehidupan kita.
Bila kita kembali kepada Al-Quran, maka kita mestilah kembali
berdasarkan kaedah dan dasar “belajar untuk melaksanakan”, bukan dengan kaedah
dan dasar belajar untuk sekadar pengetahuan dan menglipur lara.
Kita kembali kepada Al-Quran untuk mengetahui apa yang
diinginkan Al-Quran untuk kita lakukan, maka kita lakukan. Dan di dalam
perjalanan itu, kita akan bertemu dengan keindahan seni Al-Quran, dengan cerita
dan kisah yang heroik dan juga dengan pandangan-pandangan kiamat di dalam
Al-Quran, juga dengan logika kesedaran hati nurani di dalam Al-Quran, dan juga
dengan semua yang dicari-cari oleh para peneliti…
Ya, kita akan jumpai semuanya itu. Bukan dengan maksud hendak
belajar dan menglipur lara tapi dengan tujuan utama hendak mengetahui apakah
pekerjaan yang Al-Quran kehendaki untuk kita kerjakan? Apakah konsep umum yang
Al-Quran kehendaki untuk kita berkonsep? Bagaimanakah tuntutan Al-Quran
mengenai pandangan dan perasaan kita terhadap Allah SWT? Dan bagaimanakah
tuntutan Al-Quran mengenai akhlak kita, realitas hidup kita, dan bagaimanakah
corak sistem kita di dalam hidup ini?
Kemudian kita mesti membebaskan diri dari kungkungan
masyarakat jahiliyah, dari kungkungan konsep jahiliyah, dari adat busuk
jahiliyah dan juga dari pimpinan ala jahiliyah di dalam hidup diri kita
sendiri.
Bukanlah tugas kita untuk berkompromi dengan realitas
masyarakat jahiliyah sekarang dan bukan untuk tunduk dan menumpahkan kesetiaan
kepadanya. Sebab keadaan realitas jahiliyah itu tidak memungkinkan kita
berkompromi dengannya sama sekali.
Tugas utama kita ialah mengubah realitas masyarakat ini. Tugas
utama kita ialah mencabut realitas jahiliyah itu dari akarya, realitas yang
bertentangan dan melanggar secara prinsif dengan aspirasi Islam dan dengan
konsep Islam. Realitas yang menghalang kita dengan menggunakan kekerasan dan
tekanan dari kita hidup seperti yang dikehendaki oleh program Ilahi.
Langkah pertama di dalam perjalanan kita ialah menghapuskan
masyarakat jahiliyah ini, nilai-nilai dan teori-teorinya. Kita tidak boleh
melakukan penyesuaian sedikit pun untuk kemudian berharap bisa mencari irisan
di dalamnya. Sekali lagi tidak!
Karena jalan kita adalah berlainan dan bersimpangan dengan
jalan jahiliyah. Seandainya kita mencoba berjalan seiring dengannya, walaupun
cuma selangkah, niscaya kita kehilangan pedoman dan kita akan meraba dalam
kesesatan.
Dalam hal ini, kita akan menempuh berbagai bentuk kesusahan
dan penderitaan, kita akan menyumbangkan pengorbanan yang besar dan dahsyat.
Dan ini suatu pilihan yang tidak ada pilihan lain kalau kita benar-benar hendak
mengikuti langkah generasi pertama yang ditampilkan oleh Allah, yang telah
menghancur dan memusnahkan jalan jahiliyah itu.
Adalah baik sekali bagi kita untuk tetap menyadari bentuk
program dan landasan kita, menyadari tabiat sikap kita dan juga tabiat jalan
yang mesti kita lalui untuk keluar dari suasana jahiliyah yang telah dilalui
oleh generasi yang agung dan unik itu.
Wabillahi – taufieq.
Sayyid Quthub
Publikasi tgl 07 mei 2013 jam 1:35
editor: https://www.facebook.com/mien.hasan