On 02.08 by Unknown
Ayat-ayat Al-Quran periode Mekah telah diturunkan kepada
Rasulullah SAW dalam waktu tiga belas tahun, dengan mengemukakan satu persoalan
saja. Ya, hanya satu persoalan yang tidak berubah-ubah; tetapi cara
mengemukakan persoalan itu hampir tidak berulang-ulang. Gaya dan penyajian
Al-Quran mengemukakan persoalan itu luar biasa sekali, sehingga tampak
seolah-olah persoalan itu masih tetap baru, bagaikan sesuatu yang baru saja
dicetuskan untuk pertama kali.
Ayat-ayat Al-Quran periode Mekah itu menyelesaikan suatu
persoalan besar, suatu persoalan utama dan penting, suatu persoalan dasar bagi
agama yang baru muncul itu yaitu persoalan aqidah, yang diterapkan di atas
pijakannya yang terpenting KETUHANAN dan PENGABDIAN serta hubungan antara
keduanya.
Al-Quran periode Mekah mengarahkan hakikat ini kepada manusia
sebagai manusia. Dalam hal ini, sama saja manusia Arab di zaman itu dengan manusia
Arab di setiap zaman. Begitu pun dengan manusia bukan Arab di zaman itu dan
zaman yang lain.
Persoalan yang dikemukakan oleh Ayat-Ayat Al-Quran periode
Mekah itu ialah persoalan MANUSIA yang tidak pernah berubah, karena ia adalah
persoalan keberadaan manusia di alam ini dan juga persoalan kesudahan manusia
itu. Persoalan hubungan manusia dengan alam dan dengan semua yang hidup di
dunia ini, juga persoalan hubungan manusia dengan Tuhan Pencipta alam dan
Pencipta seluruh kehidupan. Persoalan itu adalah suatu yang tetap dan tidak
akan berubah, karena ia adalah persoalan wujud ini seluruhnya dan persoalan
manusia itu sendiri.
Al-Quran periode Mekah telah memberi penjelasan kepada manusia
tentang rahasia wujud manusia itu sendiri dan wujud dunia di sekitarnya. Ia
mengatakan kepada manusia siapakah sebenarnya dia (manusia) itu? Dari manakah
dia datang? Untuk apa dia datang ke dunia?
Kemudian ke manakah arah perjalanannya? Siapakah yang
membawanya keluar dari alam yang serba tiada, yang serba majhul dan serba tidak
diketahui itu? Siapakah pula yang akan membawanya pergi kemudiannya dan
bagaimanakah nasibnya di sana kelak? Al-Quran menceritakan kepadanya lagi
tentang apakah hakikat wujud yang di rasa dan dilihatnya itu? Dan yang
dirasakannya bahwa di balik wujud ini ada suatu kekuatan ghaib yang sedang
mengawasinya sementara sesuatu itu tidak terlihat?
Siapakah yang mengatur dan mengarahkan perjalanannya? Siapakah
pula yang memberikan bentuk dan rupanya? Siapakah pula yang membaharui dan
menukarnya. Di samping itu, Al-Quran mengajarnya tentang bagaimanakah dia mesti
berhubungan dengan Tuhan Pencipta alam ini, dan bagaimanakah dia berhubungan
dengan alam itu sendiri seperti ia menerangkan bagaimanakah hamba-hamba Tuhan
itu saling membuat hubungan antara sesama mereka.
Persoalan yang disebutkan di atas itu adalah persoalan besar
yang menjadi tonggak keberadaan manusia. Ia akan tetap menjadi persoalan utama
dan asasi bagi keberadaan umat manusia di sepanjang zaman.
Demikianlah berlalunya waktu tiga belas tahun dalam menerapkan
persoalan yang agung ini, persoalan utama seluruh kehidupan umat manusia itu
sendiri, yang tanpanya seluruh hidupnya tidak ada arti sama sekali.
Al-Quran periode Mekah tidak melampaui persoalan pokok ini
untuk mengemukakan persoalan-persoalan lain mengenai sistem kehidupan,
melainkan setelah Allah mengetahui bahwa persoalan itu sudah diterangkan dengan
secukupnya bahwa ianya telah menyatu dan menjadi darah daging generasi umat
yang terpilih itu, yang telah ditakdirkan Allah bahwa agama Islam ini akan
dibangun melalui generasi ini. Generasi inilah yang mengendalikan pelaksanaan
sistem yang mencerminkan agama ini.
Dan para dai di jalan agama Allah, dan ke arah terlaksananya
sistem yang dipandu oleh agama ini di alam hidup nyata, semestinya memberikan
perhatian penuh kepada fakta ini. Fakta pemusatan perhatian yang diberikan oleh
ayat-ayat Al-Quran periode Mekah untuk menerapkan akidah ini, kemudian kepada
fakta bahwa ayat-ayat periode Mekah itu tidak melampaui ke arah penghuraian
yang luas mengenai sistem yang menjadi dasarnya, dan undang-undang yang
mengatur hidup manusia Muslim.
Dengan hikmat dan kebijaksanaan Allah SWT, telah ditentukan
bahwa persoalan akidah adalah persoalan pokok bagi dakwah ini sejak zaman
permulaan kerasulan Nabi Muharmnad SAW; dan bahwa Rasulullah SAW memulai
langkah pertamanya di dalam dakwah ini dengan menyeru dan mengajak manusia
berikrar bahwa Tiada Tuhan melainkan Allah juga bahwa beliau meneruskan dakwah
dengan membimbing umat manusia supaya dapat mengenal Tuhan mereka yang
sebenarnya dan supaya mereka mengabdikan diri hanya kepada Tuhan saja.
Persoalan ini, baik ditinjau dari sudut kenyataan yang lahir
maupun dari sudut pemikiran manusia yang terbatas itu, bukanlah suatu persoalan
yang mudah diterapkan ke dalam hati orang-orang Arab. Hal ini karena mereka
mengerti dari makna bahasa mereka sendiri apakah makna perkataan ilah (Tuhan)
dan juga tujuan perkataan LA ILAAHA 1LIALLAH.
Mereka mengerti bahwa uluhiyah (ketuhanan) itu berarti
hakimiyah (penguasaan) yang tertinggi. Mereka mengerti juga bahwa mengesakan
Allah melalui ikrar kalimah syahadat itu adalah berarti mencabut sama sekali
kekuasaan yang dipegang oleh para pemuka agama, ketua-ketua suku, oleh
raja-raja, dan penguasa-penguasa; dan menyerahkan kekuasaan itu hanya kepada
Allah saja. Kekuasaan atas hati nurani, atas lambang kebesaran, atas kenyataan
hidup, kekuasaan dalam mengatur urusan harta benda, dalam urusan undang-undang
dan juga dalam urusan yang berkaitan dengan jiwa dan tubuh.
Mereka mengerti bahwa LA ILAAHA ILLALLAH itu adalah merupakan
pernyataan revolusi terhadap kekuasaan duniawi yang telah merampas sifat khusus
Tuhan yang utama. Revolusi terhadap kenyataan hidup yang bersandar kepada
rampasan atas sifat Tuhan, dan merupakan pemberontakan terhadap peraturan,
undang-undang, dan orang-orang yang memerintah berdasarkan undang-undangnya
sendiri, yang tidak diridhai oleh Allah.
Orang-orang Arab itu paham betul ke mana arah tujuan perkataan
LA ILAAHA IILALLAH itu dalam konteks kenyataan hidup mereka, dengan kekuasaan
dan kepemimpinan mereka. Oleh sebab itulah mereka menentang dakwah atau
revolusi itu begitu hebat dan mereka memeranginya habis-habisan seperti yang
telah diketahui umum.
Tetapi mengapakah justru persoalan ini yang menjadi titik
permulaan dakwah ini dan kenapa pula hikmah dan kebijaksanaan Allah SWT telah
menentukan bahwa persoalan ini mesti dijalankan dengan penuh risiko?
Rasulullah SAW telah diutus membawa agama ini ketika daerah
dan wilayah negeri Arab yang paling subur dan kaya tidak dikuasai oleh
orang-orang Arab, malah dikuasai oleh bangsa-bangsa lain.
Wilayah-wilayah Syam di sebelah utara semuanya dikuasai oleh
bangsa Romawi, diperintah oleh raja-raja dan pangeran-pangeran Arab atas nama
Kerajaan Romawi. Wilayah-wilayah Yaman di sebelah selatan pun ditakluki oleh
kerajaan Parsi dengan diperintah oleh kaum bangsawan Arab di bawah naungan
Kekaisaran Parsi. Hanya wilayah Hijaz, Tihamah, Najd dan daerah-daerah
berpadang pasir yang kering dan tandus, dengan diselingi oasis-oasis di sana
sini saja yang dikuasai oleh orang Arab.
Mungkin ada orang berkata: bahwa Nabi Muhammad SAW itu bisa
menggunakan pengaruh peribadinya yang terkenal jujur dan disanjung banyak orang
itu, pernah diangkat menjadi hakim menyelesaikan perselisihan suku-suku Arab
mengenai HAJAR ASWAD, dan semua golongan berpuas hati menerima keputusan yang
beliau lakukan itu, lima belas tahun sebelum beliau dilantik menjadi Rasul.
Selain itu, dengan pengaruh keturunan dan kedudukan tinggi
beliau di kalangan Bani Hasyim orang mengatakan bahwa beliau mampu dan berupaya
membangkitkan rasa kebangsaan Arab yang telah purak puranda akibat luasnya rasa
dendam-mendendam dan hasad dengki, untuk mengarahkan mereka ke arah paham
kesukuan dan kebangsaan, untuk merebut seluruh tanah air mereka dari tangan
para kaisar yang menjajah dan menakluknya, yaitu kerajaan Romawi dan Parsi dan
mengibarkan bendera kebangsaan Arab serta mendirikan sebuah Negara Nasional
Arab di seluruh Semenanjung Arabia.
Mungkin ada pula yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW itu
akan lebih bijaksana jika setelah seluruh bangsa Arab mengikutinya dan
menobatkan beliau sebagai pemimpin kebangsaan, dan setelah dapat mengumpulkan
kekuasaan di dalam tangannya, jika beliau pergunakan kesempatan itu untuk
menegakkan kalimah tauhid, untuk membawa umat manusia tunduk kepada kekuasaan
Ilahi setelah mereka tunduk di bawah kekuasaan duniawi beliau.
Tetapi Allah SWT – Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana
tidak mengarahkan Rasulullah SAW berbuat demikian, malah diarahkannya supaya
bertahan dengan ikrar dan syahadat LA ILAAHA ILLALLAH dan supaya sanggup
menanggung derita akibatnya, bersama-sama dengan para sahabat beliau yang
terlalu kecil jumlahnya.
Mengapa demikian? Sesungguhnya Allah SWT tidak bermaksud
menyiksa Rasul-Nya dan orang-orang beriman bersama beliau, malah Allah SWT Maha
Mengetahui bahwa bukanlah itu jalannya. Bukanlah jalannya bahwa bumi ini lepas
bebas dari tangan taghut berbangsa Romawi atau taghut berbangsa Parsi untuk
berpindah tunduk di bawah tangan taghut berbangsa Arab, karena taghut itu
adalah tetap taghut, siapa pun dia.
Bumi ini adalah kepunyaan Allah. Dunia ini baru semuanya
menjadi kepunyaan Allah kalau telah berkibar di sna Bendera La Ilaaha Illallah.
Yaitu, dengan pengertian la ilaha illallah yang dikenal oleh orang Arab yang
mengetahui pengertian bahasanya: yang berkuasa hanya Allah, hukum hanya yang
datang dari Allah, seseorang tidak mempunyai kekuasaan terhadap orang lain,
karena kekuasaan itu seluruhnya kepunyaan Allah.
Kewarganegaraan yang dikehendaki oleh Islam untuk manusia
adalah kewarganegaraan akidah, sama kedudukannya seorang Arab dengan seorang
Romawi dan Parsi. Setiap jenis dan warna harus tunduk di bawah panji Allah. Dan
inilah jalannya.
Rasulullah SAW diutus membawa agama ini di saat ketika
masyarakat Arab merupakan sebuah masyarakat yang kacau dan tidak teratur.
Pembagian kekayaan dan keadilan hanya dikuasai segelintir manusia yang memiliki
harta benda dan perniagaan, urusan pertukaran barang dan membungakan uang
(riba). Terjadilah penumpukan harta di kalangan orang tertentu saja, sedangkan
golongan terbesar tidak punya sesuatu apa pun selain dari lapar dan derita.
Orang-orang yang kaya menjadi orang yang mulia dan berkedudukan tinggi,
sedangkan golongan terbesar yang tak punya uang dan kekayaan tidak ada
kesempatan pun.
Mungkin orang akan berkata: Nabi Muhammad SAW berupaya
mengubah bentuk masyarakat itu dan mencetuskan suatu revolusi sosial untuk
menghapuskan golongan bangsawan itu dan menjalankan seruan untuk menyusun ulang
masyarakat secara adil dan membagi-bagikan harta benda orang-orang kaya kepada
orang-orang miskin.
Mungkin ada orang yang berkata begini: Seandainya Rasulullah
SAW menjalankan seruan ke arah ini niscaya masyarakat Arab akan hanya terbagi
kepada dua golongan saja, yaitu golongan berada dan golongan tak berada.
Golongan terbanyak, yaitu golongan tak berada pasti akan
mendukung seruan itu untuk menentang kekuasaan harta benda orang-orang kaya
yang jumlahnya kecil. Cara ini lebih baik daripada melakukan dakwah ke arah
akidah yang telah ditentang oleh sebagian besar masyarakat, baik kaya maupun
miskin, dan tidak dapat pengikut kecuali beberapa gelintir manusia tertentu
saja.
Barang kali ada yang mengatakan: sebaiknya Muhammad saw.
setelah orang banyak menyambutnya dan menjadikannya pemimpin, dan dengan begitu
mengalahkan minoritas dan mudah memimpinnya, baru ia mempergunakan posisinya
dan kekuasaannya untuk menanamkan akidah Tauhid yang dengannya ia diutus
Tuhannya menghambakan manusia kepada kekuasaan Tuhan mereka, setelah ia
menghambakan manusia itu kepada kekuasaan manusiawi dirinya sendri.
Namun, Allah SWT Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana tidak
mengarahkan beliau berbuat begitu karena Allah SWT Maha Mengetahui bahwa itu
bukanlah jalannya.
Allah Maha Tahu bahwa keadilan sosial hanya akan dapat
diwujudkan di dalam masyarakat, dari sumber keyakinan yang lengkap, yang
menyerahkan segala sesuatu kepada Allah SWT, sambil menerima dengan penuh
kerelaan hati akan semua yang ditentukan Allah SWT di dalam masalah pembagian
harta, dalam masalah jaminan sosial untuk seluruh masyarakat; dan kepercayaan
ini menjadi ketenangan hati baik dari pihak yang mengambil dan pihak yang
diambil, dengan pengertian bahwa mereka melaksanakan suatu sistem yang telah ditentukan
oleh Allah SWT dengan penuh harapan bahwa ketaatan, kepatuhan dan kebaktian
yang dilakukannya akan mendatangkan kebajikan dan kebaikan dunia dan akhirat.
Dengan demikian, maka rasa tamak dan dendam, dengki terhadap
sesama anggota masyarakat tidak akan dapat bersarang di lubuk hati. Semua
urusan dijalankan dengan beres tanpa tekanan dan paksaan, tanpa ancaman dan
teror.
Hati manusia tidak rusak dan jiwa mereka pun tidak akan
bangkrut seperti yang terjadi di mana saja di bawah sistem hidup yang
berlandaskan kalimah tauhid LA ILAAHA ILLALLAH.
Wabillahi – taufieq.
Sayyid Quthub
Publikasi tgl 07 Mei 2013
Editor: Elhasan